Kesepakatan antara Paloh dan Cak Imin ini membuat Ketua Majelis Tinggi Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meradang. Demokrat merasa dikhianati oleh NasDem dan Anies.
RUANGPOLITIK.COM – Partai Demokrat telah menarik dukungan dari bakal calon presiden Anies Baswedan di Pilpres 2024. Demokrat juga otomatis hengkang dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP).
Keputusan ini diambil setelah Ketum NasDem Surya Paloh meminang Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin untuk menjadi cawapres pendamping Anies.

Kesepakatan antara Paloh dan Cak Imin ini membuat Ketua Majelis Tinggi Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meradang. Demokrat merasa dikhianati oleh NasDem dan Anies.
SBY mengatakan partainya belum akan mengambil keputusan akan mendukung siapa di Pilpres 2024. Namun ia mengungkap kubu Ganjar Pranowo maupun Prabowo Subianto telah mengajak untuk berkoalisi.
Direktur Eksekutif Kajian Politik Nasional (KPN) Adib Miftahul menilai Demokrat berpeluang bergabung dengan poros koalisi PDIP. Menurutnya, pilihan terbaik AHY adalah ikut mendukung Ganjar.
“Peluang besarnya ke PDIP. Kenapa? Karena hal itu bisa digunakan untuk membalas Anies karena dianggap tidak komitmen dan berkhianat,” ujar Adib kepada media, Senin (4/9).
Adib menyebut AHY sebelumnya juga telah bertemu dengan Ketua DPP PDIP Puan Maharani. Ia menilai Demokrat bisa mendapat porsi lebih di koalisi PDIP ketimbang dengan gerbong Prabowo.

“Apalagi AHY sudah bertemu Puan dan dianggap adik. Demokrat bisa mendapat porsi di PDIP. Berbeda dengan KIM yang porsinya cenderung tidak dianggap karena sudah ada Golkar PAN dan lain-lain. Sedangkan di PDIP hanya ada PPP,” katanya.
Rujuk dengan Anies

Di sisi lain Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Arifki Chaniago justru menilai pilihan terbaik yang dimiliki AHY dan Partai Demokrat adalah kembali rujuk dengan Anies.
Ia menilai AHY dan Partai Demokrat akan sulit diterima pendukung Ganjar maupun Prabowo karena telah mengusung perubahan dari pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Sebagai oposisi, pastinya tidak mudah diterima pendukung Ganjar maupun Prabowo karena mengusung perubahan. Lebih baik kembali rujuk ke Anies lagi,” ujar Arifki kepada media.
Meskipun telah menyuarakan pengkhianatan Nasdem dan Anies, Arifki menilai Demokrat sudah sulit diterima Ganjar dan Prabowo karena tak memiliki cukup daya tawar.
“Daya tawarnya apa? Paling tidak kalaupun dia tidak jadi cawapres dia bisa diuntungkan karena punya efek elektoral yang menonjol dibandingkan harus ke Ganjar atau Prabowo,” katanya.

Selain itu, Arifki juga menilai Demokrat tidak akan mendapat apa-apa apabila bergabung ke Ganjar atau Prabowo. Menurutnya, Ganjar tak terlalu membutuhkan dukungan AHY.
Sedangkan, kata Arifki, Prabowo dikelilingi banyak partai yang membuat jatah AHY akan semakin tipis dalam KIM karena bergabung paling terakhir dibandingkan Golkar dan PAN.
“Ganjar tidak terlalu butuh rasanya karena barisan AHY dan Demokrat sebagai oposisi yang dinilai publik tidak akan mudah dilirik sebagai bagian dari Ganjar dan PDIP,” kata dia.

“Sedangkan peluang AHY ke Prabowo kecil karena sudah banyak partai di sana. Partai Demokrat akan kesulitan mendapat ruang. Kalau di Ganjar dan Prabowo enggak dapet cawapres buat apa?” imbuhnya.
Di sisi lain Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah mengatakan Partai Demokrat punya dua pilihan. Pertama, membujuk PKS membangun koalisi baru dan menarik PPP untuk usung AHY dan Menparekraf Sandiaga Uno.

“Akan tetapi membujuk PKS membangun koalisi dengan PPP adalah pilihan sulit, karena PKS pasti menilai Anies lebih menjanjikan dibanding AHY. PKS juga tidak miliki penambahan nilai jika keluar lalu membela AHY,” ucap Dedi kepada media.
Kedua, kata Dedi, Demokrat bisa merapat ke Gerindra. Namun, ia menilai kekuatan Partai Demokrat dan AHY tak berarti di KIM. Selain itu, Dedi juga menduga AHY tak akan mendapatkan kursi cawapres.
“Tidak mungkin ada kursi cawapres di kubu Prabowo. Kenapa? Karena persoalan besar di KPP dikarenakan Demokrat memaksakan AHY sebagai cawapres sehingga terjadi kebuntuan. Demokrat bisa saja kembali tanpa koalisi di Pemilu 2024,” ujar Dedi.
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)