RUANGPOLITIK.COM — Menyusul keinginan capres Golkar Airlangga Hartarto yang akan menjajaki kemungkinan untuk berduet dengan Prabowo Subianto dalam Pilpres 2024 dinilai pengamat kurang menguntungkan. Pasalnya popularitas Airlangga dianggap masih kalah populer dibanding kandidat lain.
Tak hanya itu duet itu tak menguntungkan Prabowo Subianto capres Gerindra. Hal terburuk lainnya adalah Koalisi Indonesia Raya (KIR) yang beranggotakan Gerindra dan PKB bisa bubar.
Hal ini disampaikan oleh pengamat politik Efriza dari Citra Institute, kepada RuPol, Selasa (21/3/2023).
“Golkar sepertinya lagi persiapkan diri membuat rencana cadangan, kemungkinan ini rencana terakhir. Jika KIB, dan PDIP menolak Golkar yang telah menyodorkan Airlangga, sebagai capres/cawapres,” ungkap Efriza.
Dan ia melihat komposisi ini kurang menarik bagi publik, namun jika dianggap Airlangga representasi dari pemerintah ini sudah tepat namun sulit menang.
“Prabowo-Airlangga bukan pasangan yang cocok dan menarik bagi publik, tapi pasangan ini turut diperhitungkan karena dari kubu pemerintah, sehingga memungkinkan opsi ini, menjadikan Pilpres tiga poros koalisi dengan agenda bak mengepung poros koalisi Anies Baswedan, ini bisa saja menjadi strategi pemerintah,” urainya.
Pengamat politik ini juga menilai kans bubarnya KIR jika duet ini terwujud, sudah pasti rekan koalisi PKB tidak akan terima dengan keputusan ini.
“Hanya saja, poros KIR persantase besarnya bubar. PKB bisa saja bergabung dalam poros Anies tetapi kecil peluangnya atau tetap di poros pemerintah tetapi di kubu PDIP. Sedangkan, poros KIB jelas turut bubar. Hanya saja, memungkinkan mereka bergabung kepada Pemerintah bersama PDIP. Dua kemungkinan poros koalisi dari kubu pemerintah terbangun, jika Pemerintah menggunakan kekuasaannya untuk melakukan tekanan kepada partai-partai pendukung pemerintahan,” ungkap Efriza.
Jika berbicara untuk publik sepertinya tidak mempunyai pengaruh dan dampak kejutan yang positif. Airlangga dinilai publik positif dalam kinerja karena kepuasan kepada pemerintah, ini yang turut memengaruhi penilaian positif dirinya.
Tetapi dari segi elektabilitas dirinya masuk dalam daftar capres maupun cawapres dibawah lima persen. Figur dirinya yang amat disayangkan adalah ia kaku, komunikasinya masih gaya birokrat. Ia juga belum kompetitif melawan calon yang dalam tiga besar seperti Prabowo, Ganjar, dan Anies Baswedan.
Sisi lain, Airlangga sepertinya jika diwacanakan sebagai cawapres juga tidak dapat banyak berperan mengkatrol kenaikan elektabilitas Prabowo, maupun meyakinkan publik bahwa pasangan ini layak dipilih dan akan menang di Pilpres, kecuali sekadar memberi masukan dan informasi bahwa pasangan ini dari kubu pemerintah dan tentu saja juga disetujui oleh Presiden Jokowi.
“Wajar, elektabilitas ia tinggi dikalangan stakeholder, pebisnis, karena ia adalah menteri koordinator bidang perekonomian saat ini. Kedekatan ia dengan para pebisnis yang menyebabkan elektabilitas dia tinggi, diperhitungkan. Tetapi jika dibaca lebih cermat, nama dia dikenal publik, diberikan poin positif karena kepuasan terhadap kinerja pemerintah. Begitu juga dengan dari sisi stakeholder, penilaiannya,” ungkap dosen di berbagai universitas ini.
Jadi, selama pemerintahan mendapatkan respons positif maka dirinya juga mendapatkan dampak positif. Tetapi jika dia ditempatkan sebagai capres dan cawapres dari keseluruhan individu masyarakat telah terbukti dia adalah capres dan/atau cawapres yang berada dipapan bawah degradasi, dan ia sudah berada sejak 2021 lalu.
Ia dapat diperhitungkan sebagai cawapres karena pengaruh Golkar yang sudah mengakar di masyarakat, juga peringkat Golkar ketiga saat ini, sisi lain ia menteri koordinator perekonomian, dan jangan lupakan pula setiap pilpres tanpa petahana pasangan capres bisa memenangkan pilpres jika dipasangkan dengan Golkar.
“Namun, apakah itu akan terjadi dengan Airlangga? Saya kok meragukan ya, sebab SBY dan Jokowi terpilih bersama satu nama yakni Jusuf Kalla, dan nama JK saat itu memang elektabilitasnya tinggi. Berbeda dengan Airlangga, elektabilitas dirinya dipapan bawah degradasi, tetapi elektabilitas Golkar terus meningkat, ini dapat saja karena elektabilitas Golkar tidak terkatrol dari Airlangga,” ujar Efriza.
Meski begitu, sosok nama yang diperhitungkan dari kubu pemerintah tentu tersisa Airlangga dan Erick Thohir sebagai cawapres, disini keuntungan Airlangga karena Golkarnya, beda dengan nasib Erick yang bukan kader partai.
“Tetapi wacana pasangan Prabowo-Erick bukan pasangan yang ideal. Keduanya dalam berkomunikasi dan perilaku dalam berkomunikasi memiliki kesamaan, yakni sama-sama datar, kaku, layaknya birokrat, ini akan menjenuhkan publik saat menilai mereka, misal saat di dalam debat capres-cawapres, jika pasangan ini terwujud,” tukasnya. (IY)
Editor: Ivo Yasmiati
(RuPol)