RUANGPOLITIK.COM — Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengatakan pihaknya sudah menyerahkan 200 berkas laporan terkait transaksi mencurigakan senilai Rp300 triliun ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Namun dibantah oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengaku tak tahu soal temuan janggal ratusan triliun yang disampaikan Menko Polhukam Mahfud MD itu.
“Itu ada 200 berkas individual, diserahkan 200 kali sepanjang 2009-2023,” kata Ivan, Kamis (9/3/2023).
Menurut pengamat politik dan Direktur Eksekutif Center for Strategic on Islamic and International Studies (CSIIS) Dr Sholeh Basyari, saat dihubungi RuPol, Jum’at (10/3/2023) mengatakan bahwa tak dipungkiri jika Sri Mulyani sudah gagal dalam memimpin Kementrian Keuangan terutama membebaskan dari korupsi.
“Setidaknya ada tiga ‘kesalahan’ Sri Mulyani. Pertama, rangkap 30 jenis jabatan. Kedua, gagal memimpin jajarannya di Dirjen Pajak dan Bea Cukai. Ketiga, gagal membangun filosofi Kemenkeu,” tegas Dr Sholeh.
Tak hanya itu, ini juga menjadi catatan buruk disaat pemerintahan Jokowi sangat menginginkan agar bersih-bersih dari korupsi dapat terjadi di semua sektor. Ia menilai ini kesalahan yang sangat fatal
“Rangkap jabatan secara yuridis, legal. Tetapi secara etis mencabik-cabik para pembayar pajak. Rangkap jabatan sebanyak itu juga bisa dibaca dengan perspektif gagalnya investasi sumberdaya manusia. Sementara terkait kegagalan mengkonsolidasi dan memimpin jajarannya terutama di dua dirjen basah tersebut, terdeteksi dari menyeruak ke publik transaksi Rp 300 T itu,” kritiknya.
Ia juga menyoroti gaya hidup mewah pegawai di jajarannya yang tak sesuai dengan situasi rakyat bawah yang menjerit kelaparan akibat ekonomi yang kian mencekik, harga pangan yang melambung. Namun tak dibarengi dengan gaya hidup pejabat yang prihatin dengan nasib rakyat.
“Belum lagi gaya hidup mewah mayoritas pejabat atau bahkan staf Kemenkeu, turut pula sebagai etalase bahwa terjadi ‘penzaliman’ atas hasil pungutan pajak,” tegasnya.
Sehingga CSIIS mempertanyakan kembali prestasi yang diraih Kemenkeu terutama melalui sektor pajak yang dianggap surplus.
“Terakhir, alibi Kemenkeu bahwa pungutan pajak 125% adalah bukti keberhasilan dan melebihi target di satu sisi, tidak sebanding dengan fasilitas publik serta tingginya harga kebutuhan pokok. Menunjukkan bahwa Kemenkeu menghilangkan aspek balance dan justice dalam filosofi kelembagaannya,” tegas Dr Sholeh. (IY)
Editor: Ivo Yasmiati
(RuPol)