RUANGPOLITIK.COM — Kerusuhan massal yang pecah dan memakan korban jiwa di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan membuat situasi di Wamena cukup mencekam. Kapolda Papua Irjen Mathius D Fakhiri mengatakan ada 18 orang personel TNI dan Polri yang terluka.
Sebanyak 10 orang warga tewas akibat kericuhan di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua pada Kamis (23/2/2023), yang diawali dengan merebaknya isu penculikan anak.
Kabid Humas Polda Papua Kombes Ignatius Benny Prabowo sebelumnya menjelaskan kericuhan yang sempat terjadi pada Kamis (23/2/2023) sekitar pukul 12.30 WIT, berawal dari adanya isu terkait penculikan anak.
Pada saat kejadian itu, Benny menyebut aparat gabungan TNI-Polri telah mencoba melakukan negoisasi agar isu penculikan dapat diselesaikan. Akan tetapi, kata dia, Kapolres Jayawijaya dan anggota gabungan yang berada di lokasi justru diserang menggunakan batu dan panah.
Saat ini, Propam Polda Papua tengah menyelidiki dugaan adanya pelanggaran SOP oleh personel saat bertugas menangani kerusuhan di Kampung Sapalek, Wamena, Jayawijaya.
Kapolda Papua Irjen Mathius D Fakhiri mengatakan hal itu lakukan pihaknya lantaran terdapat 10 korban jiwa yang tewas dalam insiden kerusuhan itu. Terlebih dari total korban itu, delapan di antaranya merupakan massa aksi yang tertembak karena dinilai bersikap anarkis.
“Saya minta langsung Kabid Propam untuk langsung melakukan evaluasi secara menyeluruh pola penanganan yang saat itu di lapangan,” ujarnya, Jumat (24/2/2024).
Mathius menyebut pengerahan tim Propam itu juga sebagai bentuk evaluasi penanganan yang telah dilakukan oleh aparat setempat. Sehingga ia berharap adanya korban jiwa dalam penanganan kerusuhan tidak akan terulang lagi.
Ia mengaku telah meminta jajarannya untuk dapat lebih tenang ketika sedang bertugas mengamankan kerusuhan.
Meski begitu, Mathius mengamini apabila situasi di lapangan dapat berubah secara cepat akibat adanya aksi-aksi provokasi. Karenanya ia memerintahkan jajarannya untuk dapat membaca situasi secara tepat
“Kami tidak mau lagi ke depan akan berdampak seperti itu ada korban jiwa,” jelasnya.Benny mengaku petugas kemudian telah mengeluarkan tembakan peringatan dengan harapan massa tidak melakukan aksi penyerangan terhadap anggota.
“Massa yang semakin anarkis tersebut tidak mau mendengar himbauan aparat dan tidak mau membubarkan diri saat diberi tembakan peringatan bahkan menyerang Aparat dengan panah,” tuturnya.
Akibat bentrokan tersebut, ia mengatakan total terdapat 10 korban tewas. Rinciannya, dua orang menjadi korban dari massa perusuh, sementara delapan lainnya berasal dari massa perusuh yang ditembak oleh petugas.
Selain itu, terdapat 32 orang korban luka-luka dan 13 rumah serta 2 ruko hangus dibakar oleh kelompok massa aksi.
“Yang delapan itu yang massa perusuhnya yang dilakukan tindakan tugas oleh TNI-Polri,” jelasnya.
Kerusuhan di Wamena bukan kali pertama terjadi. Pada 4 April 2003 peristiwa berdarah terjadi di daerah tersebut dipicu tewasnya dua anggota Kodim yang diserang sekelompok orang tak dikenal.
Saat penyelidikan, aparat diduga melakukan penyiksaan, perampasan, dan pengusiran terhadap warga secara paksa. Akibatnya, puluhan orang tewas dan belasan lainnya menjadi korban penangkapan. Tragedi Wamena itu menjadi salah satu pelanggaran HAM di Papua.
Pada September 2019 bentrokan terjadi akibat unjuk rasa siswa di Kota Wamena. Sebanyak 33 Orang dikabarkan tewas dalam bentrok tersebut. 165 rumah. 465 ruko dan 224 mobil serta 150 motor hangus terbakar.
Bentrokan antar warga juga terjadi pada November 2022 menyebabkan pembakaran kios dan kos-kosan dan menyebabkan lima orang luka-luka termasuk polisi. Bentrok ini dilatarbelakangi kasus penganiayaan.
Editor: Ivo Yasmiati
(RuPol)