RUANGPOLITIK.COM— Komisi Pemilihan Umum (KPU) terus menjadi sorotan publik. Menyusul banyaknya badai yang menerpa KPU mulai dari intimidasi KPUD tingkat provinsi/kabupaten untuk menjegal parpol tertentu saat proses verifikasi berlangsung. Tak hanya itu KPU kembali dikecam karena seolah mendukung Pemilu Tertutup.
Menurut pengamat politik Efriza dari Citra Institute saat dihubungi RuPol, Sabtu (31/12) mengatakan konflik yang muncul belum akan melahirkan mobilisasi massa yang besar. Artinya kondisi masih terkendali namun kepercayaan publik mulai tergerus.
“Memicu aksi massa saat ini sepertinya belum akan terjadi. Sebab aksi massa umumnya dimobilisasi, kecenderungan mobilisasi oleh partai politik, saat ini partai politik masih dalam situasi tak beriak. Hanya saat ini, KPU memerosotkan kepercayaan masyarakat. KPU sebagai penyelenggara pemilu dinilai masyarakat dalam tahapan partai politik sebagai peserta pemilu kinerjanya kurang memuaskan, ” jelas Efriza.
Disamping itu, Efriza menilai KPU sebagai penyelenggara pemilu terlalu aktif merespons wacana, yang semestinya KPU bekerja sesuai dengan apa yang diperintah oleh undang-undang.
“Respons cepat KPU sebagai penyelenggara pemilu, terhadap judicial review gang sedang berproses di MK, terkesan KPU mengamini keinginan dari politisi partai yang mengajukan gugatan. Sikap merespons cepat KPU atas sengketa di MK malah mengesankan dukungan terhadap wacana Sistem Proporsional Tertutup, juga turut mengesankan KPU tidak langsung bak menekan MK untuk memenuhi perubahan sistem pemilu dari proposional terbuka menjadi tertutup, ” sesalnya.
Sehingga respons cepat KPU, mengesankan dirinya bak LSM Pengawas Pemilu plat merah yang semestinya ia bersikap netral, hanya mempelajari dan merespons keputusan yang sudah ditetapkan. Semangat KPU adalah mandiri dan netral, serta menjadi penyelenggara pemilu yang menghadirkan pemilu berkualitas.
“Tekanan terhadap KPU bukan kepada Pemilu ditunda, tetapi malah terhadap independensi KPU, kemandirian, dan kenetralan KPU. Tekanan itu tentu diharapkan menguntungkan pihak tertentu yang memang berharap bisa mempengaruhi kebijakan dan/atau individu di KPU, ” jelas dosen ilmu Pemerintahan ini.
Apalagi isu yang paling krusial saat ini adalah penundaan pemilu yang dapat memancing kemarahan publik. Sehingga Efriza melihat KPU pun tak lepas dari intervensi pihak tertentu.
“Tekanan itu adalah bisa jadi pilihan dan strategi lanjutan ketika upaya penundaan pemilu tidak terjadi. Ini adalah tantangan KPU ke depannya, sebab berbagai pihak punya beragam kepentingan, dengan KPU yang gamang akan membuat KPU mudah disusupi oleh berbagai kepentingan yang kuat pengaruhnya. Dan, ini adalah tantangan dan PR untuk KPU menaikkan kembalikan kepercayaan masyarakat, ” jelasnya.
Tentu beragam kepentingan ini juga dipengaruhi oleh konstelasi menuju Pilpres yang telah memanas. Dengan tidak adanya petahana pada Pemilu 2024 nanti. Menyebabkan peluang berbagai koalisi sama besar. Ini pula yang menyebabkan serangan-serangan terhadap KPU akan meningkat.
Ini terjadi dengan harapan runtuhnya legitimasi terhadap KPU, ditengah situasi KPU yang gamang maka KPU mudah untuk dipengaruhi oleh kekuatan yang besar pengaruh dan/atau kekuasaannya. Jadi seberapa kuat KPU bekerja, sikap mandiri dan netral, menjadi tantangan yang harus di jaga sebagai martabat dari penyelenggara pemilu.
“Yang terbaik dilakukan oleh pemerintah adalah menyampaikan komunikasi kepada publik untuk merespons dinamika politik pemilu. Pemerintah sebaiknya menghindari melakukan pertemuan intens dengan KPU, meski hanya berkomunikasi terhadap perkembangan pemilu, agar tidak menjadi persepsi di publik pemerintah melakukan intervensi kepada KPU. Biarkan KPU bekerja secara mandiri dan netral,” ucap Efriza.
Semestinya yang intens untuk menjaga penyelenggaraan pemilu agar tetap berjalan dengan baik adalah Bawaslu sebagai lembaga pengawas dan mitra KPU. Sisi lain, adalah peran serta masyarakat sipil, mengawasi perkembangan dinamika pemilu dan KPU nya.
“Sebab jika KPU acap intens berkomunikasi dengan para politisi, yang merupakan bagian peserta pemilu, tentu saja akan menyebabkan berkembang persepsi di masyarakat yang meragukan sikap mandiri dan netralnya KPU sebagai penyelenggara pemilu,” pungkasnya.
Editor: Ivo Yasmiati
(RuPol)