RUANGPOLITIK.COM — Kasus KDRT yang dilakukan oleh RIS kepada mantan istri dan kedua anaknya masuk tahap penyidikan. Polisi menyatakan ada unsur pidana terkait kasus yang dilaporkan mantan istri RIS itu, namun, RIS belum ditetapkan sebagai tersangka.
“Masih saksi terlapor. Tapi ini sudah periksa yang lain, kita sudah periksa orang lain,” kata Kasi Humas Polres Metro Jakarta Selatan AKP Nurma Dewi, Jumat (23/12).
Kasus tersebut telah ditingkatkan ke tahap penyidikan. Polisi menemukan unsur pidana dalam laporan KDRT ayah hajar anak itu.
“Ada unsur pidana. Kalau sudah naik sidik sudah unsur pidana,” kata Nurma.
Nurma melanjutkan, RIS terancam dijerat dengan 2 pasal. Yakni pasal 76C UU 35 tahun 2014 dan Pasal 44 Ayat UU PKDRT.
“Pasal 76C tentang UU Perlindungan anak, KDRT juga pasal 44 UU KDRT. Ada 2 pasal,” pungkasnya.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merasa miris dengan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang diduga dilakukan ayah terhadap anaknya di Jakarta Selatan. Sebab, KPAI menilai anak seharusnya mendapat kasih sayang dan perlindungan di lingkungan keluarga.
“Peristiwa kekerasan yang dialami seorang anak pada saat sekolah daring dengan bermain game, menjadi pemandangan yang sangat miris. Karena terjadi di lingkungan keluarga, yang harusnya dapat memenuhi kasih, sayang dan perlindungan. Tapi apa daya ketika orang tua berkonflik panjang, dan anak-anak jadi alat pelampiasan,” kata Komisioner KPAI Jasra Putra, kepada wartawan, Jumat (23/12).
Jasra mengatakan Undang-Undang Perlindungan Anak memandatkan anak wajib dihindarkan dari konflik orang dewasa, dalam hal ini adalah orang tua. Menurutnya, dengan tersebarnya video kekerasan kepada anak itu menunjukkan eskalasi kekerasan yang semakin meninggi.
“Negara melalui PP Pengasuhan Anak harus mendorong bagaimana keduanya diberi sanksi karena selama ini menjadikan anak alat pelampiasan konflik. Ada kewajiban orang tua memahami parenting skill di tengah keluarga berkonflik,” ucapnya.
Pengabaian pengasuhan atau keterlantaran anak tidak hanya terjadi keluarga dengan kemampuan ekonomi terbatas. Pola pengasuhan yang salah, kata dia, juga kerap terjadi pada keluarga dengan kemampuan ekonomi di atas rata-rata.
“Inilah yang saya sebut pola keragaman pengasuhan, yang negara perlu mengakomodir dalam regulasi pengasuhan anak. Agar RUU Pengasuhan Anak yang naskah akademik dan RUU-nya sudah ada, dapat ditingkatkan pembahasannya,” ujarnya.
Lebih lanjut, Jasra menyebut dominasi kasus yang terlaporkan ke KPAI selama periode 5 tahun terakhir adalah pada kluster pengasuhan di keluarga dan pengasuhan di lembaga alternatif. KPAI berharap agar kekerasan terhadap anak sejak di lingkungan keluarga dapat diputus mata rantainya.
“Untuk itulah KPAI selalu berharap RUU Pengasuhan Anak dapat menjadi jaminan dalam memastikan memutus mata rantai kekerasan sejak dari keluarga, dengan penguatan pengasuhan anak, kesejahteraan ibu dan anak,” imbuhnya.
Editor: Ivo Yasmiati
(RuPol)