RUANGPOLITIK.COM — Pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang HUkum Pidana (RKHUP) menjadi UU KUHP oleh DPR melalui sidang paripurna pada Selasa (6/12) di Gedung DPR mendapat kritikan keras.
Alasannya banyak ‘pasal’ yang termaktub dalam KHUP bertentangan dengan kebijakan Hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia. Karena itu PBB menyampaikan rasa keprihatinannya agar KHUP tersebut di revisi.
Dalam konferensi persnya pada Kamis (8/12) Perwakilan PBB di Indonesia menyerukan kepada otoritas eksekutif dan legislatif untuk menyelaraskan hukum di dalam negeri dengan kewajiban hukum hak asasi manusia internasional Indonesia dan komitmennya terhadap Agenda 2030 dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB).
“Kami mendorong pemerintah untuk tetap terlibat dalam dialog konsultatif terbuka dengan masyarakat sipil yang lebih luas dan pemangku kepentingan untuk menangani keluhan dan memastikan bahwa proses reformasi sejalan dengan komitmen global Indonesia dan juga TPB,“ sebut PBB.
Di antaranya hak atas kesetaraan di hadapan hukum dan perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi, hak atas privasi dan hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan, serta kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Pernyataan perwakilan PBB ini dikritik oleh Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Prof Hikmahanto Juwana agar Kemenlu mengusir perwakilan PBB di Indonesia yang mengomentari KUHP baru. Sebab, KUHP baru adalah masalah yurisdiksi domestik yang harus dihormati PBB.
“Atas pernyataan Perwakilan PBB ini, Kemlu sepatutnya memanggil Kepala Perwakilan PBB di Indonesia dan bila perlu melakukan persona non grata (pengusiran) pejabat tersebut dari Indonesia,” kata Hikmahanto Juwana dalam keterangannya kepada wartawan, Jumat (9/12).
Dari DPR juga menyampaikan hal yang sama, yakni Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid, Jumat (9/12).
“Saya mempersilakan Kemlu memanggil ataupun bersurat kepada Perwakilan PBB di Indonesia dalam rangka klarifikasi terkait tujuan pernyataan tersebut. Ini memang penting dan saya rasa cukup di situ,” kata Meutya, kepada wartawan, kemarin.
Kemlu pun tidak tinggal diam dengan hal ini. Kemlu akan berkoordinasi dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dalam menanggapi kekhawatiran PBB itu.
Namun, sikap pemerintah yang terlalu berlebihan ini dikritik oleh Dr Sholeh Basyari Pengamat Politik dan Direktur Eksekutif Center for Strategic on Islamic and International Studies (CSIIS), saat dihubungi RuPol, Sabtu (10/12).
“Panggilan yang rencananya dilakukan oleh Kemenlu kepada perwakilan PBB di Jakarta akibat kritik atas KUHP baru, berlebihan. Hal ini setidaknya dengan sejumlah ukuran ini,” tegasnya.
Sholeh menjelaskan bahwa kritik yang disampaikan itu bagian dari ‘alarm’ bahwa Indonesia sudah meratifikasi hukum internasional yang berkenaan dengan Hak Asasi Manusia. Sehingga pengingat ini dilakukan PBB agar pemerintah memahami bahwa HAM ini penting menjadi pertimbangan utama.
“Pertama, kritik itu sejatinya mengingatkan bahwa Indonesia telah meratifikasi sejumlah hal terkait HAM,” ungkapnya.
Hal selanjutnya yang harus dievaluasi oleh Pemerintah adalah ratifikasi terutama hak sosial pria dan wanita yang harus mendapatkan jaminan ‘terjaga’ sebagai warga negara yang harus dilindungi dan negara harus menjamin itu melalui konstitusi.
“Kedua, ratifikasi terutama terkait hak sosial (relasi pria wanita dalam pernikahan) meski bersifat programatik, tetap saja harus meng-cover unsur: proteksi, respeksi dan fullfilmen warga negar,” ulasnya.
Selanjutnya Direktur CSIIS ini mengingatkan Pemerintah dalam ratifikasi hukum internasional yang berkaitan dengan hak sipil. Sehingga KHUP yang disahkan harus mampu sejalan dengan ratifikasi hukum internasional yang sudah dilakukan oleh Indonesia.
“Ketiga, pengaturan dalam bentuk legalitas (KUHP) hak sipil menyangkut kehidupan seksual, bertabrakan dengan International Covenant on Civil and Politic right (ICCPR), yg juga diratifikasi oleh Pemerintah,” jelasnya lagi.
Karena itu Sholeh menilai, pemanggilan atas perwakilan PBB yang ada di Indonesia bahkan ada seruan untuk melakukan pengusiran atau intervensi ini sangat tidak etis dalam etika hubungan internasional.
Pasalnya PBB merupakan organisasi internasional yang menjaga tatanan global dan hubungan antar negara yang bersifat multilateral dalam hubungan yang harmonis dan berkelanjutan.
“Keempat, rencana pemanggilan perwakilan PBB oleh Kemenlu, menyiratkan pembungkaman. PBB saja bisa tekan, apalagi masyarakat biasa,” kritiknya.
Dan Sholeh mengingatkan Pemerintah kembali agar aksi protes yang dilakukan oleh PBB ini tidak dinilai berlebihan. Karena hukum internasional menjunjung Hak Asasi Manusia dan Hak Sipil dalam bernegara. (IY)
Editor: Ivo Yasmiati
(RuPol)