RUANGPOLITIK.COM — Wacana pemerintah untuk mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terus mendapat penolakan dari aktivis. Pemerintah diminta untuk menunda pengesahan RKUHP tersebut. Dalam draft RKHUP ditenggarai banyak pasal yang mengkriminalisasi sipil.
Penolakan ini disampaikan Peneliti KontraS Rozy Brilian kepada wartawan di Jakarta, Rabu (30/11).
“Kami tolak sebelum pasal pasal bermasalah tersebut dicabut. Tunda untuk semua,” kata Rozy.
Menurut Rozy pemerintah menerapkan konsep berpikir yang salah. Pemerintah malah menetapkan tanggal pengesahan terlebih dahulu, ketimbang mendengarkan masukan dari masyarakat sipil.
“Sepertinya ada konsep berpikir yang salah dengar DPR dan pemerintah ya. Idealnya dibahas secara tuntas dan komprehensif terlebih dulu. Mendengar masukan masyarakat secara maksimal,” ucap dia.
Konsep berpikir tersebut, kata Rozy, akan menjadikan pengesahan RKUHP seperti kejar tayang. Namun, minim partisipasi publik dan memuat pasal-pasal yang merugikan.
“Bukan justru tetapkan tanggal duluan di tanggal 15 Desember nanti. Pasti akan kejar tayang, terburu buru dan tergesa gesa. Ini merupakan lanjutan dari proses legislasi yang buruk dari DPR bersama pemerintah,” imbuhnya.
LBH Jakarta juga berpendapat DPR dan pemerintah harus memundurkan pengesahan dan merevisi draf final tersebut.
Beberapa pasal yang bermasalah menurut LBH Jakarta dan LSM lainnya yakni terkait Living Law. Menurut mereka, pasal tersebut berbahaya karena mempermudah kriminalisasi akan semakin mudah.
“Perempuan dan kelompok rentan lainnya merupakan pihak yang berpotensi dirugikan dengan pasal ini, sebab saat ini masih banyak terdapat perda diskriminatif,” kata perwakilan koalisi dari LBH Jakarta, Citra Referandum dalam keterangan tertulis.
Kedua, Pasal terkait Pidana mati. Citra menyebut legalisasi pidana mati merupakan bentuk perampasan hak hidup manusia yang melekat sebagai sebuah karunia yang tidak dapat dikurangi ataupun dicabut oleh siapapun, bahkan oleh negara.
“Hukum ini harus ditiadakan karena beberapa kasus telah terjadi bahwa pidana mati telah menimbulkan korban salah eksekusi,” ujarnya.
Ketiga, Pasal terkait perampasan aset untuk denda individu. Menurut koalisi sipil, hukuman kumulatif berupa denda akan semakin memiskinkan masyarakat miskin dan memperkuat penguasa.
“Metode hukuman kumulatif ini merupakan metode yang sangat kolonial dan hanya menjadi ruang bagi negara untungk memeras atau mencari untuk dari rakyat,” tuturnya.
Keempat, Pasal penghinaan presiden. Pasal tersebut dinilai sebagai pasal antikritik karena masyarakat yang mengkritik presiden dapat dituduh menghina dan berujung pada pidana.
Kelima, Pasal penghinaan lembaga negara dan pemerintah. Pasal dinilai menunjukkan bahwa penguasa negara ingin diagung-agungkan seperti penjajah di masa kolonial.
Keenam, Pasal terkait contempt of court. Pasal tersebut dianggap akan menjadikan posisi hakim di ruang persidangan seperti dewa.
“Dalam persidangan, seringkali masyarakat menemui adanya hakim yang memihak. Apabila pasal ini disahkan, ketika bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan dapat dianggap sebagai penyerangan integritas. Pasal ini juga berbahaya bagi lawyer, saksi, dan korban,” jelasnya.
Diketahui, pembahasan Revisi KUHP antara pemerintah dan DPR sudah di tahap akhir. DPR sudah mengesahkannya di tingkat I, sehingga tinggal dibawa ke paripurna untuk disahkan. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan RKUHP akan disahkan dalam Rapat Paripurna DPR sebelum masa reses 15 Desember 2022.
Editor: Ivo Yasmiati