Oleh: Efriza
RUANGPOLITIK.COM — Pemerintah merencanakan akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) berkaitan dengan beberapa hal materi Pemilihan Umum (Pemilu).
Saat ini, Perppu Pemilu dengan cita rasa berbeda. Perppu Pemilu ini tidak seperti umumnya. Muatan politis kepentingannya teramat kental. Pemerintah sebenarnya ingin melakukan revisi undang-undang Pemilu secara terbatas, tetapi dikhawatirkan akan menguntungkan pihak di luar pemerintah, maka pemerintah menolak melakukan revisi undang-undang (UU) pemilu.
Perppu Pemilu kali ini menunjukkan perbedaan secara kasat mata. Jika biasanya pemerintah terlebih dulu menerbitkan produk hukumnya, baru kemudian dibahas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk ditolak atau diterima. Sekarang ini Pemerintah dan DPR melakukan rapat konsinyering.
Perppu Pemilu turut menghadirkan kegaduhan baru. Sorotan dengan pandangan sinis, komentar cibiran, juga ekspresi “mengelus dada” karena kejanggalan prosesnya dan isi materi yang direncanakan dalam Perppu Pemilu tersebut.
Baca:
pj-gubernur-babel-bangga-film-karya-cipta-insan-pers-bakal-tayang-di-bioskop/
Perppu Tak Berguna
Ada lima materi dalam Perppu yang sedang dirumuskan oleh Presiden dan DPR. Pertama, soal perubahan jumlah anggota DPR, DPD, DPRD sebagai konsekuensi dari adanya penambahan jumlah provinsi di Papua. Kedua, konsekuensi penambahan jumlah anggota berimplikasi penambahan jumlah daerah pemilihan (dapil) di tingkat nasional maupun provinsi yang juga bertambahnya jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Ketiga, usulan penyeragaman berakhirnya masa jabatan KPU di Daerah. Keempat, Penetapan Daftar Calon Tetap (DCT). Dan terakhir, dihapuskannya aturan pengundian nomor urut bagi partai-partai politik pemenang Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) sebelumnya.
Rencana Perppu sungguh janggal. Pemerintah sudah menyatakan tidak akan melakukan revisi undang-undang Pemilu. Sehingga saat itu, pemerintah melakukan langkah politik dengan menstop upaya merevisi undang-undang pemilu. Sekarang, Perppu memang dibutuhkan untuk mengakomodasi tiga provinsi baru di Papua turut diikutsertakan dalam Pemilu 2024 ini.
Hanya menjadi janggal, jika dalam merumuskan materi Perppu mengikutsertakan DPR. Sisi lain, Pemerintah juga berupaya mengakomodir suara dari Penyelenggara Pemilu, untuk hal ini cenderung menguat respons positif. Namun, ketika berupaya mengakomodir keinginan salah satu peserta Pemilu yakni partainya pemerintah, akhirnya tampak konyol. Satu peserta pemilu yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dispesialkan oleh Presiden, sehingga permintaannya langsung diakomodir.
Perppu sebenarnya untuk apa, jika dapat perumusannya sudah bersama oleh DPR. Malah, sebaiknya Pemerintah dan DPR melakukan revisi terbatas terhadap undang-undang pemilu. Banyak persoalan yang lebih penting dibandingkan hanya mengakomodir keinginan satu partai tentang penghapusan nomor urut untuk partai-partai yang lolos di Pemilu 2019.
Permasalahan pemilu saat ini sudah dapat diketahui tetapi tidak diupayakan untuk menyelesaikannya. Seperti, pemilihan model pemilu serentak yang lebih baik daripada yang sebelumnya. Sebab, Pemilu borongan lima surat suara model kemarin, telah terbukti malah menjadi tragedi kemanusiaan dengan banyaknya anggota penyelenggara pemilu ad hoc yang meninggal dunia.
Permasalahan lainnya berupa penerapan Presidential Threshold, juga malah menunjukkan kegagalan partai-partai politik melakukan tindakan pemenuhan untuk masyarakat dalam memperoleh banyak calon presiden/calon wakil presiden.
Presiden sebagai “Petugas” Partai
Perppu yang akan dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) salah satu isinya adalah mengakomodir keinginan partainya. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, menjelaskan efisiensi anggaran dengan melalui penghapusan undian nomor urut bagi partai politik peserta pemilu 2019 lalu.
Perilaku Presiden Jokowi yang mengakomodir keinginan ketua umum dan partainya semata tersebut, dapat dikatakan adalah tindakan diskriminatif dalam pemikiran dan perilaku Presiden.
Perilaku Presiden Jokowi menunjukkan ia bukanlah sosok pemimpin yang turut menghormati proses penyelenggaraan pemilu. Ini ditunjukkan oleh lakon dirinya yang tidak bersikap netral, ia mat mencampuri proses pemilu.
Perilaku Jokowi mengakomodir keinginan partainya semata, semakin menegaskan bahwa Presiden kita adalah hanya “Petugas” partai semata. Presiden Jokowi merelakan dirinya yang dipersepsikan sebagai “petugas” partai untuk didikte oleh Ketua Umumnya.
Efisiensi anggaran dalam hal alat peraga partai, itulah yang disampaikan kepada publik. Persepsi efisiensi dan realitas pengundian nomor urut, memang relevan. Inilah konsekuensi bergantinya penomoran akibat pengundian nomor urut setiap penyelenggaran pemilu.
PDIP pada dasarnya mendorong wacana efisiensi anggaran, memiliki maksud terselubung yakni bertujuan untuk menguntungkan partainya sepihak. PDIP dengan nomor urut 3 Pemilu 2019 lalu memang amat diuntungkan. Sebab, hanya PDIP yang beruntung, nomor urutnya saat ini adalah sama dengan nomor urut PDI di masa Orde Baru.
PDIP saat itu adalah simbol perjuangan dan perlawanan terhadap Orde Baru. Nomor urut 3 juga mengidentikkan anak muda dalam selera musik rock dan/atau metal. Nomor urut 3 ini yang telah mengantar PDIP hingga menjadi satu-satunya partai politik yang lolos presidential threshold, sehingga bisa memajukan pasangan calon presiden/wakil presiden sendiri.
Perppu Pemilu memang diperlukan sebagai konsekuensi dari adanya penambahan jumlah provinsi di Papua. Hanya saja, perluasan materi Perppu ini adalah condong kepada untuk kepentingan PDIP semata. Sehingga, disinyalir agar keinginan Megawati Soekarnoputri bahwa PDIP tetap bernomor tiga pada Pemilu-pemilu selanjutnya, berhasil, maka proses Perppu dilakukan dengan konsinyering. Ini adalah bentuk penegasan bahwa Jokowi sebagai Presiden adalah “petugas” partai. (*)
Penulis adalah Dosen Ilmu Pemerintahan di Universitas Sutomo, Serang, Banten
Editor: Syafri Ario, S. Hum