RUANGPOLITIK.COM — Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengusulkan ancaman pidana kurungan penjara terhadap pihak yang melakukan penghinaan pada presiden dan wakil presiden ditiadakan di Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
Ia menyarankan ancaman hukuman pidana digantikan dengan kerja sosial.
“Untuk penghinaan presiden dan wakil presiden, kami berharap semua ancaman untuk penghinaan itu dilekatkan dengan tujuan pemerintah dan DPR untuk mengefektifkan pidana kerja sosial,” kata Erasmus dalam rapat dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Senin (14/11).
Dia menerangkan bahwa verbal crime atau kejahatan lisan seharusnya tidak memiliki konsekuensi pembatasan pidana terhadap ruang gerak dan tubuh.
Berangkat dari itu, Erasmus berharap ancaman pidana disesuaikan dengan ketentuan buku satu, yaitu pidana kerja sosial.
“Jadi ancaman pidananya untuk penghinaan kami berharap diancam enam bulan. Supaya kerja sosial bisa langsung digunakan,” ujarnya.
Erasmus menambahkan, pasal penghinaan presiden dalam RKUHP pada dasarnya tidak bertujuan untuk memenjarakan seseorang.
“Karena dalam konteks harkat martabat yang paling penting pengadilan mengatakan yang disampaikan itu salah, sehingga harkat martabat itu terpulihkan,” katanya.
Sebagai informasi, draf RKUHP terbaru menyatakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden serta wapres tidak dikategorikan sebuah tindak pidana bila dilakukan dalam aksi unjuk rasa.
Hal itu tertuang di bagian penjelasan Pasal 218 draf RKUHP yang diserahkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) ke Komisi III DPR pada Rabu (9/11).
Pasal 218 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wapres dipidana dengan pidana penjara maksimal tiga tahun atau denda paling banyak Rp200 juta.
Kemudian pada Pasal 218 ayat (2) menyatakan bahwa hal tersebut tidak berlaku jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
RKUHP Terbaru: Hina DPR dan Polri Bisa Dipenjara 1,5 Tahun
Pada bagian penjelasan Pasal 218 ayat (2) dinyatakan bahwa hal yang dimaksud dengan ‘dilakukan untuk kepentingan umum’ adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan salah satunya lewat aksi unjuk rasa.
“Yang dimaksud dengan ‘dilakukan untuk kepentingan umum’ adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi, misalnya melalui unjuk rasa, kritik, atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan presiden dan/atau wakil presiden,” demikian penjelasan Pasal 218 ayat (2) yang dikutip dari draf terbaru RKUHP yang diterima CNNIndonesia.com, Kamis (10/11).
Kemudian, ada dua pasal lagi yang mengatur tentang penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wapres, yakni Pasal 219 dan 220.
Pasal 219 menyatakan bahwa setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap presiden dan/atau wapres dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dapat dipidana dengan penjara maksimal empat tahun atau denda maksimal Rp200 juta.
Kemudian, Pasal 220 berisi dua ayat. Ayat (1) menyatakan tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wapres hanya dapat dituntut berdasarkan aduan. Kemudian ayat (2) menyatakan pengaduan dapat dilakukan secara tertulis oleh presiden dan/atau wapres.
Editor: Ivo Yasmiati