RUANGPOLITIK.COM — Perang Rusia versus Ukraina masih belum menghadapi titik temu perdamaian, bahkan eskalasi konflik kian memuncak dengan berhembusnya isu “Perang Nuklir” yang mengguncang keamanan internasional. Kondisi memburuknya situasi keamanan internasional ini mendapat sorotan tajam dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyebut perang antara Rusia dan Ukraina belum menunjukkan tanda-tanda reda yang disampaikan pada Rabu (12/10).
“Mengenai perang Ukraina memang dari sumber-sumber yang saya dapat itu tidak ada tanda-tanda akan mereda. Saya bicara dengan berbagai pihak Amerika maupun Eropa mereka semua punya prediksi yang sama,” kata Luhut.
Luhut mengatakan, tidak ada yang tahu kapan berakhir. Itu artinya, minyak dan pangan dari Rusia dan Ukraina tidak bisa diekspor ke tempat lain. Ia kemudian menambahkan, ketidakpastian akan meningkat di tengah adanya ancaman nuklir.
Menurutnya kondisi ini membuat ancaman perang nuklir semakin nyata dan meningkatkan ketidakpastian ekonomi global. Luhut menjelaskan, tidak adanya tanda-tanda perang reda itu berasal dari berbagai sumber yang ia terima bahwa muncul kapal selam Rusia yang memiliki senjata nuklir. Yakni kapal selam Belgorod dari Rusia tiba-tiba muncul di Arktik memiliki kemampuan yang bisa menimbulkan gelombang nuklir.
Rusia Membantah Penggunaan Nuklir
Merebaknya isu nuklir ini menimbulkan ketakutan internasional jika senjata pemusnah massal ini akan digunakan oleh militer Rusia sebagai bentuk proteksi wilayahnya dari cengkraman Ukraina. Karena dampak nuklir ini tak hanya bagi Rusia atau Ukraina namun merusak tatanan global, perdamaian dunia dan kematian massal yang jumlahnya tak bisa dianulir.
Apalagi Militer Rusia ada beberapa alasan yang memperbolehkan penggunaan senjata nuklir yakni ketika ada tindakan yang mengancam keberadaan negara. Wakil Kepala Dewan Keamanan Rusia Dimitry Medvedev, bahwa ada empat bentuk penggunaan senjata nuklir yakni peluncuran rudal nuklir, penggunaan senjata nuklir, serangan terhadap infrastruktur penting yang mengendalikan senjata nuklir.
Artinya Pemusnahan Global sejauh ini tidak ada dari empat hal tersebut yang terjadi. Mengomentari kemungkinan penggunaan senjata atom taktis, atau senjata yang mengandung uranium, Medvedev mencatat bahwa Rusia tidak pernah menerapkannya, tidak seperti beberapa negara Barat.
“Selama 20-30 tahun terakhir, negara-negara NATO telah menggunakannya dengan cukup aktif baik di Yugoslavia maupun Irak. Ada beberapa ketidakpastian seputar topik ini, dengan konsekuensi yang sangat tragis. Jadi, dalam hal ini, pertama-tama kita harus melihat apa yang telah dilakukan negara-negara Barat dalam situasi tertentu,” kata mantan presiden Rusia tersebut.
Menurutnya, serangan militer Moskow di Ukraina, yang dimulai pada akhir Februari, adalah tindakan defensif. Salah satu alasan serangan itu, lanjut dia, adalah pernyataan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, yang mengatakan pada satu titik bahwa Kiev tidak menutup kemungkinan memulihkan potensi nuklirnya. “Rupanya dia ingin menakut-nakuti kami, tetapi pada akhirnya dia menciptakan suasana yang lebih berat, yang pada akhirnya memaksa Federasi Rusia untuk meluncurkan operasi militer khusus,” katanya.
Dan Ivan Nechaev, wakil juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, menyatakan bahwa Moskow tidak perlu menggunakan opsi nuklir di Ukraina, dan bahwa Rusia adalah kekuatan nuklir yang bertanggung jawab, yang hanya akan menggunakan senjata atomnya jika keberadaannya benar-benar berada di bawah ancaman. Sementara itu, Wakil Sekretaris Dewan Keamanan Rusia Alexander Venediktov memperingatkan, perang nuklir tidak boleh dilakukan. Dia menekankan, tidak akan ada pemenang dalam perang semacam itu.
“Kami telah menyatakannya berulang kali dan kami terus menyatakan komitmen kami pada formula yang dikenal bahwa tidak ada pemenang dalam perang nuklir dan itu tidak boleh dipertempurkan,” kata Venediktov, dikutip laman kantor berita Rusia, TASS.
Menanggapi isu ini Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menyatakan bahwa ia tidak percaya jika Rusia akan menggunakan cara ini dalam mengatasi konflik dengannya. Ia meminta agar Rusia melakukan tindakan pencegahan bukan serangan.
Dalam beberapa pekan terakhir, tentara Ukraina telah merebut kembali petak-petak besar wilayah dalam serangan balasan yang sukses yang telah memaksa pasukan Rusia untuk meninggalkan posisi yang telah lama dipegang. Dalam apa yang digambarkan Kyiv sebagai tanggapan Moskow terhadap kekalahannya, Presiden Vladimir Putin telah memasukkan empat wilayah Ukraina yang sebagian diduduki.
Sinyal Kekalahan Rusia?
Presiden Joe Biden mengatakan pada Kamis (6/10) lalu atas risiko “Armageddon” nuklir berada pada tingkat tertinggi sejak Krisis Rudal Kuba pada 1962. Ketika para pejabat Rusia berbicara tentang kemungkinan menggunakan senjata nuklir taktis setelah mengalami kemunduran besar-besaran dalam invasi ke Ukraina. Dia menyarankan ancaman dari Putin adalah nyata “karena militernya – bisa dibilang – secara signifikan berkinerja buruk.”
Mengutip AP, Jumat (7/10), para pejabat AS selama berbulan-bulan telah memperingatkan prospek bahwa Rusia dapat menggunakan senjata pemusnah massal di Ukraina karena telah menghadapi serangkaian kemunduran strategis di medan perang.
Meskipun pernyataan Biden menandai peringatan paling keras yang belum dikeluarkan oleh pemerintah AS tentang taruhan nuklir. Namun, baru-baru ini, para pejabat AS mengatakan bahwa mereka tidak melihat adanya perubahan pada pasukan nuklir Rusia yang akan memerlukan perubahan dalam postur siaga pasukan nuklir AS.
“Kami belum melihat alasan untuk menyesuaikan postur nuklir strategis kami sendiri, kami juga tidak memiliki indikasi bahwa Rusia sedang mempersiapkan diri untuk segera menggunakan senjata nuklir,” ujar sekretaris pers Gedung Putih, Karine Jean-Pierre pada Selasa 4 Oktober.
Berbicara pada penggalangan dana untuk Komite Kampanye Senator Demokrat, Biden mengatakan Presiden Rusia, Vladimir Putin adalah “orang yang saya kenal dengan cukup baik” dan pemimpin Rusia itu “tidak bercanda ketika dia berbicara tentang penggunaan senjata nuklir taktis atau senjata biologis atau kimia.”
“Pada saat yang sama, banyak politisi Barat, tokoh masyarakat dan ahli secara teratur berani membuat pernyataan yang tidak hanya tidak bertanggung jawab. Mereka secara terbuka berbicara bahwa penggunaan senjata pemusnah massal terhadap Rusia dapat diterima,” ucap Venediktov. Venediktov kemudian menyitir ungkapan filsuf Romawi, Cicero, yang mengatakan bahwa sejarah adalah pembimbing kehidupan.
“Hari ini kita membutuhkan bantuan mentor ini tidak seperti sebelumnya untuk menghindari kesalahan tragis. Dalam kasus senjata nuklir, kesalahan seperti itu dapat menyebabkan konsekuensi yang tidak dapat diubah,” tuturnya.
Awal bulan ini, Panglima Angkatan Bersenjata Ukraina Jenderal Valeriy Zaluzhnyi mengatakan, ada ancaman Rusia menggunakan senjata nuklir di negaranya. Menurut Zaluzhnyi, hal itu nantinya bisa memicu Perang Dunia III.
“Ada ancaman langsung penggunaan, dalam keadaan tertentu, senjata nuklir taktis oleh angkatan bersenjata Rusia. Juga tidak mungkin untuk mengesampingkan kemungkinan keterlibatan langsung negara-negara terkemuka dunia dalam konflik nuklir ‘terbatas’, di mana prospek Perang Dunia III sudah terlihat secara langsung,” tulis Zaluzhnyi dalam sebuah artikel yang ditulisnya bersama anggota parlemen Ukraina Mykhailo Zabrodskyi dan diterbitkan di kantor berita Ukraina, Ukrinform.
Bertolak dari asumsi tersebut, Zaluzhnyi dan Zabrodskyi menilai, perang di negaranya masih akan berlangsung hingga tahun depan. Ukraina pun perlu mencocokkan jangkauan serangan senjata Rusia untuk mengubah gelombang perang. Zaluzhnyi dan Zabrodskyi berpendapat, senjata yang dipasok Barat akan menjadi tulang punggung pertahanan Ukraina tahun depan.
Dampak Perang Nuklir
Rusia memiliki jumlah senjata nuklir terbanyak di dunia dengan jumlah 5,977 senjata nuklir. Sedangkan, Amerika Serikat berada di posisi kedua dengan jumlah 3,750 senjata nuklir. Jika kedua negara ini di kemudian hari jatuh ke dalam perang nuklir, maka dunia akan mengalami masa-masa kelam. Berbagai masalah baru akan muncul setelah terjadinya perang nuklir, seperti hilangnya jutaan korban jiwa, musim dingin nuklir yang membuat suhu bumi menurun drastis hingga asap nuklir yang menghalangi sinar matahari sehingga mengganggu pertumbuhan tanaman dan produksi pangan. Diperkirakan 90 persen produksi pangan dunia akan menurun setelah tiga sampai empat tahun perang nuklir antara AS dan Rusia. Perang tersebut dapat membuat 5 miliar penduduk bumi menjadi korban kelaparan global.
Kelaparan global juga akan terjadi jika negara-negara seperti India dan Pakistan, terlibat perang nuklir. Perang nuklir antara India dan Pakistan diprediksi akan menurunkan sekitar 7 persen hasil panen bumi dalam waktu lima tahun setelah terjadinya konflik. Masalah-masalah lain pun juga akan muncul, seperti awan yang menutupi bumi. Ini akan menyebabkan temperatur bumi turun secara drastis. Temperatur bumi akan berada di antara 1 dan 16 derajat Celsius sehingga berdampak pada sistem produksi pangan di darat dan di laut.
“Lapisan ozon akan hancur oleh pemanasan di stratosfer, yang menghasilkan lebih banyak radiasi ultraviolet di permukaan, dan kita perlu memahami dampak itu pada persediaan makanan,” jelas Lili Xia, pemimpin penelitian dari Universitas Rutgers, AS.
Peneliti lainnya dan juga profesor ilmu iklim di Departemen Ilmu Lingkungan Universitas Rutgers, Alan Robock mengatakan, satu-satunya solusi jangka panjang untuk mencegah bencana tersebut adalah melarang senjata nuklir. Ia menyatakan bahwa Perjanjian PBB untuk Pelarangan Senjata Nuklir yang berusia lima tahun telah diratifikasi 66 negara, tapi bukan dari sembilan negara yang memiliki senjata nuklir. Untuk itu ia meminta sudah sudah saatnya sembilan negara itu mendengar sains dan wilayah dunia lainnya dan menandatangani perjanjian.
Menyusul dampak kehancuran massal yang ditimbulkan oleh Perang Nuklir, tokoh agama Paus Fransiskus menghimbau upaya perdamaian dan agar pihak yang bertikai belajar dari sejarah masa lalu yakni hancurnya kota Hiroshima dan Nagasaki. “Menghadapi bahaya perang nuklir, marilah kita belajar dari sejarah,” ujar Paus Fransiskus via Twitter resminya, dikutip Senin (10/10/2022).
“Sebagaimana Injil mengatakan: ‘tanyakanlah jalan-jalan yang dahulu kala, di manakah jalan yang baik, tempuhlah itu,” jelas Paus Fransiskus.(Ivo)
Editor: Syafri Ario
(Rupol)