RUANGPOLITIK.COM – Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengajukan permohonan judicial review atas UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU 7/2017) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait presidential threshold (PT) 20 persen dan meminta PT turun diangka 7-9 persen.
Salah satu alasan PKS mengajukan judicial review yakni adanya open legal policy berupa pemberian kewenangan kepada pembentuk undang-undang untuk lebih lanjut mengatur hal-hal yang tidak diatur dalam konstitusi.
Akan tetapi, jika hal tersebut menimbulkan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi, pelaksanaan open legal policy dapat dibatalkan oleh Mahkamah atau setidaknya Mahkamah memberikan batasan yang lebih rasional, proporsional, dan implementatif.
Mahkamah juga tidak pernah membahas soal berapa besaran angka yang dianggap konstitusional dalam presidential threshold. Di sisi lain, desakan untuk mengevaluasi angka presidential threshold sangat tinggi, pembentuk undang-undang tidak juga membuka peluang bagi masyarakat Indonesia untuk membahas mengenai angka tersebut.
Berita Terkait:
Hasil Survei KPK: PKS sebagai Parpol yang Kooperatif dan Terbuka Pembiayaan Partainya
Demokrat dan PKS Terbuka Terima Silaturahmi Puan Maharani
Andi Amran Sulaiman Mencuat di Bursa Capres PKS
PKS Berhadapan dengan Ipar Jokowi di MK
Alasan lain pengajuan judicial review karena adanya kebuntuan hukum sebagai bentuk dari ketidakadilan yang dinilai sudah tidak dapat ditoleransi. Hal tersebut terjadi ketika tidak ada lagi jalur hukum yang dapat ditempuh oleh para pemohon untuk menuntut keadilan. Tidak ada forum lainnya selain Mahkamah Konstitusi yang dapat memberikan keadilan terhadap besaran angka yang rasional dan proporsional dalam konteks pencalonan presiden dan wakil presiden di Indonesia.
Para pemohon menilai angka presidential threshold yang tinggi tersebut tidak efektif untuk mencapai tujuan dihadirkannya UU 7/2017 itu. Menurut pemohon, ada cara lain yang bisa digunakan untuk mencapai tujuan itu, yaitu dengan menurunkan angka presidential threshold.
PKS berpendapat bahwa pelaksanaan open legal policy yang menetapkan presidential threshold 20% kursi parlemen atau 25% suara nasional merupakan bentuk penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) oleh mayoritas fraksi di parlemen dan pemerintah saat pembahasan UU 7/2017.
Tirani mayoritas fraksi yakni partai pendukung pemerintah dan pemerintah dalam meloloskan UU 7/2017 tersebut bertujuan untuk meneruskan petahana (incumbent) berkuasa, dengan tidak membuka banyak calon alternatif untuk maju ke kontestasi Pemilu 2019.
Pada pencalonan Pemilihan Presiden 2019, hanya memperoleh satu pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk berkompetisi dengan presiden petahana (incumbent) karena terhambatnya calon alternatif, termasuk yang telah diusung PKS.
Dari pengalaman tersebut didapat bahwa angka presidential threshold 20% kursi parlemen atau 25% suara nasional secara nyata bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 berkaitan dengan hak konstitusional PKS mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Selain itu, presidential threshold 20% kursi parlemen atau 25% suara nasional juga melanggar hak konstitusional untuk dipilih (right to be candidate) bagi Ketua Majelis Syura PKS Salim Segaf sebagaimana diatur Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
Hakim konstitusi Arief Hidayat menyatakan angka presidential threshold adalah hak partai politik di Senayan untuk menentukan. Jika MK menentukan angka persentasenya, bisa saja partai politik lain yang tidak setuju akan menggugat juga ke MK.
“Kenapa angka yang open legal policy itu harus Mahkamah menentukan? Ini sebetulnya lebih tepat ke legislative review,” ujar Arief dalam sidang MK pekan ini.
Menurut Arief, bila permohonan itu dikabulkan, maka membuka peluang partai politik lain menggugat serupa.
“Sekarang coba kita bayangkan, kalau Mahkamah nanti menyetujui petitum permohonan ini yang open legal policy dikatakan itu konstitusionalnya dari angka 7% sampai 9%. Kemudian, ada permohonan lagi yang menyangkut partai politik seperti PKS mengajukan ke sini mengatakan ‘Konstitusionalitas angka open legal policy itu 25% sampai 40%’. Lah, kalau kita sudah pernah memutus itu, menetapkan 7%, 8% itu konstitusional, yang namanya open legal policy partai yang lain mengajukan 25% sampai 40%, ya, kita juga harus bisa mengubah itu,” pungkas Arief Hidayat. (ZSR)
Editor: Zulfa Simatur
(RuPol)