RUANGPOLITIK.COM-Dalam diskusi bertajuk “Jokowi Pembawa Misi Perdamaian” terangkum pendapat narasumber bahwa kunjungan Presiden Joko Widodo ke Ukraina dan Rusia penting dan bermanfaat meski hasilnya belum segera terlihat.
Diskusi tersebut digelar secara online oleh DPP Partai Solidaritas Indonesia (DPP PSI) , Selasa 5 Juli 2022 malam.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Philips J. Vermonte mengungkapkan, “Pertama, ada sesuatu yang tidak terkatakan tapi jelas tujuannya. Presiden Jokowi ingin memastikan kehadiran negara-negara G-20 dalam summit mendatang. Jangan sampai konflik mengganggu pertemuan G-20 yang sangat dibutuhkan dalam upaya pemulihan ekonomi dunia.”
Kedua, yang dilakukan Jokowi adalah keharusan. Ada mandat konstitusi untuk menjaga perdamaian dunia.
Berita Terkait:
Presiden Jokowi Bawa Pesan Volodymyr Zelensky untuk Vladimir Putin
Jokowi Jadi Pemimpin Asia yang Kunjungi Ukraina, Ini Kata Zelensky
Presiden Jokowi Kembali ke Polandia Usai Tuntaskan Lawatan di Ukraina
Presiden Jokowi Kunjungi Reruntuhan Apartemen di Ukraina
“Indonesia tidak bisa berdiam diri ketika ada pelanggaran kedaulatan, apa pun argumennya. Prinsip kita dari dulu, menempatkan territory, integrity, dan sovereignty sebagai acuan utama dalam menjalankan politik luar negeri. Siapa pun pemerintah yang sedang berjalan akan mendapat tugas konstitusional ini,” tutur mantan Direktur Eksekutif CSIS.
Philips juga menyampaikan bahwa Rusia merupakan salah salah satu kekuatan inti dunia dan mitra utama ASEAN. Jika Indonesia bisa menjaga hubungan baik dengan Rusia, itu akan baik juga untuk ASEAN.
Di sisi lain, Indonesia punya hubungan historis dengan Ukraina sebagai salah satu negara pertama yang membantu kedaulatan Indonesia dan membawa isu ke Dewan Keamanan PBB pada 1946.
“Kunjungan Pak Jokowi ini menunjukkan Indonesia konsisten dalam menjalankan politik luar negeri. Konsistensi ini penting karena akan dibaca oleh negara-negara lain dan menjadi rekam jejak,” tambah Phillips.
Sementara, Analis Pertahanan dan Militer Connie Rahakundini Bakrie menilai positif kunjungan Jokowi ke Ukraina dan Rusia walaupun hasilnya tak bisa segera dilihat.
“Presiden Jokowi bukan David Copperfield, bukan tukang sulap. Hari ini datang, besok berubah. Karena kompleks sekali sekali masalahnya. Sejak awal saya sudah bilang, pemerintah Ukraina menjadikan negaranya sebagai mandala atau arena perang buat musuh-musuh Rusia yang jumlahnya banyak,” tutur Connie.
“Kompleksitas persoalan itu yang membuat perdamaian akan sulit. Namun, sulit bukan berarti mustahil. Jalur diplomasi harus dibuka, prosesnya bisa lama dan panjang. Kasus Bosnia saja membutuhkan 2-3 tahun sampai selesai,” lanjutnya.
Sebagai bagian dari gerakan Non-Blok, Indonesia harus bermain sebaik dan seaktif mungkin. Namun, kita tetap harus memikirkan kepentingan nasional kita. Kemudian, memenuhi amanat konstutusi untuk menciptakan perdamaian dunia.
Seperti disampaikan Menlu Retno Marsudi, lanjut Connie, kunjungan Presiden Jokowi dilakukan mengingat 60 negara diperkirakan akan menjadi negara gagal jika food security dan energy security semakin memburuk akibat perang di Eropa Timur tersebut.
“AS sedang menggunakan perang ini untuk kepemimpinannya di dunia dan ini tidak fair. Ada 4.000 sanksi untuk Rusia, termasuk untuk warga sipil Rusia. Belum pernah ada sanksi sebanyak ini sepanjang sejarah. Aset warga sipil dirampas begitu saja. Banyak hal dilanggar negara yang so called mengusung demokrasi,” ungkap doktor dari UI ini.
Connie melihat Konflik Rusia-Ukraina dalam konteks upaya Amerika Serikat memantapkan kepemimpinan globalnya.
Editor: Zulfa Simatur
(RuPol)