RUANGPOLITIK.COM – Joko Widodo (Jokowi) sebelum menjadi presiden dua periode, dirinya adalah Wali Kota Solo. Ini terjadi pada tahun 2005 lalu saat pemilihan kepada daerah kota Solo.
Pria yang lahir di Surakarta 62 tahun silam ini, dalam pilkada Solo, dia diusung PDIP dan PKB. Saat itu presentase suara yang masuk untuk Jokowi adalah 36,62 persen dan memenangkan dirinya menjabat sebagai Wali Kota Solo.
Berbagai inovasi dan pembenahan pun dilakukan Jokowi untuk membangun Solo menjadi lebih baik lagi. Kemudian Dia kembali tepilih untuk kedua kalinya sebagai Wali Kota Solo dengan presentase suara lebih dari 90 persen.
Hingga akhirnya tahun 2012, Jokowi dicalonkan menjadi Gubernur DKI Jakarta oleh PDIP. Dia saat itu menggandeng Basuki Tjahaja Purnama atau yang dikenal dengan Ahok sebagai wakilnya.
Dari pemilihan itu, hasilnya Jokowi dan Ahok unggul. Ini yang kemudian membuat popularitasnya naik. Presiden ketujuh Indonesia ini dikenal sebagai pemimpin yang baik dan juga memiliki pendekatan yang membumi dan pragmatis.
Bahkan program blusukannya yang memeriksa secara langsung ke lapangan. Atas programmnya ini, survei presiden ada nama Jokowi bahkan merajainya dan menjadi salah satu kandidat calon presiden.
Meski masih simpang siur saat itu, akhirnya Jokowi maju di Pilpres 2014 bersama dengan Jusuf Kalla sebagai wakil presiden. Jokowi menduduki tahta presiden setelah dilantik sebagai presiden pada 20 Oktober 2014 lalu. Jokowi menang dengan perolehan suara 53,15 persen.
Kemudian dirinya yang diusung oleh partai berlambang banteng moncong putih tersebut kembali dicalonkan kembali tahun 2019 lalu. Hingga akhirnya bersama dengan Ma’ruf Amin, Jokowi kembali menjadi presiden dan dilantik pada 20 Oktober 2019 dengan masa jabatan hingga 2024 mendatang.
Namun, apakah selesai sampai di sini? Ternyata tidak, Jokowi yang akan lengser pada 2024 mendatanga, justru membawa anak pertamanya Gibran Rakabuing Raka sebagai calon wakil presiden dari Prabowo Subianto dari Partai Gerindra.
Padahal, Jokowi berasal dan diusung dari PDIP. Hal ini kemudian membuat PDIP marah dan menangis, serta memperlakukan Jokowi seperti musuh yang harus dibasmi. Pengamat politik pun mengatakan, Jokowi seperti kacang lupa akan kulitnya.
Efriza, pengamat politik dari Citra Institute mengatakan, ini dilakukan Jokowi karena kekhawatiran yang besar akan program pembangunan infrastrukturnya dapat terbengkalai jika tak dilanjutkan oleh orang yang dapat dipercaya dirinya.
“Nah yang dipercaya oleh dirinya adalah anaknya Gibran. Meski Jokowi mempercayai Gibran, namun jika dicermati Gibran itu sosok anak muda yang ambisius, ia ingin langsung mencuat tanpa melalui proses. Jokowi sebagai ayah, selalu ‘memanjakan’ dan ‘meluluskan’ kemauan Gibran di kontestasi pemilihan umum,” ungkap Efriza.
Efriza mengatakan, perilaku Gibran ini sudah mulai kentara sejak ia menjabat wali kota Surakarta dua periode. Pasca Jokowi tak bisa lagi maju untuk menjabat wali kota Surakarta, maka wakil wali kotalah yang melanjutkan.
“Namun, periode Pilkada 2020, Gibran sosok anak muda sekaligus anaknya Jokowi meminta ‘previllege’ untuk maju wali kota Surakarta. Obsesi Gibran sayangnya, di iya kan oleh Jokowi sebagai ayah. Status Gibran sebagai putra Presiden dianggap memiliki posisi tawar yang cukup kuat,” kata Efriza.
Dia menjelaskan, Megawati selaku ketua umum memberikan kesempatan karir politik Gibran. Konsekuensinya yang terjadi saat itu, PDIP harus mengabaikan banyak hal seperti pertama, kriteria punya pengalaman sudah dua tahun menjadi kader partai untuk diajukan di Pilkada diabaikan.
Kedua, juga ini yang penting awalnya PDIP sudah memutuskan siapa calon yang akan diusung, yakni Achmad Purnomo-Teguh Prakosa, tetapi utak-atik dilakukan demi memuluskan niat Gibran, sampai akhirnya Gibran-Teguh Prakosa yang diajukan PDIP.
“Jadi, Jokowi berperilaku ‘kacang lupa kulit’, karena ia terperangkap kepada sikap dan posisi diri sebagai ayah yang berusaha selalu menuruti kehendak anaknya. Obsesi anaknya, Gibran dalam politik adalah dengan cara instan ingin memiliki kekuasaan. Mirisnya perilaku ini masih terjadi di era Reformasi pada diri Jokowi, sebagai sosok pemimpin yang dilahirkannya oleh hasil terbaik reformasi dan demokrasi,” kata Efriza.
Dia menambahkan, Jokowi layaknya Soeharto yang semakin menjauh dari nilai kebaikan bagi masyarakat ketika anaknya mulai diberikan ‘privellege’ untuk punya jabatan. Wajar, jika Jokowi dan Soeharto, dianggap memiliki kemiripan, terkait kehilangan nurani melayani masyarakat ketika lebih memikirkan menghindari dari ‘rengekan’ anaknya.
Editor: M. R. Oktavia
(Rupol)