Nizam mengatakan menjaga kesehatan remaja seperti mahasiswa menjadi tugas bersama seluruh civitas akademica guna mewujudkan kampus sehat.
RUANGPOLITIK.COM – Pelaksan Tugas (Plt) Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Nizam memaparkan bahwa Kemendikbudristek terus mendorong perguruan tinggi mewujudkan kampus sehat, aman dan nyaman (SAN) bagi seluruh civitas akademica.
Salah satunya sehat secara emosional dengan membentuk budaya peduli sesama mahasiswa dan dosen, sehingga masalah kesehatan tidak hanya menjadi tanggung jawab konselor atau psikolog.
Fenomena stres hingga berujung bunuh diri dilakukan oleh remaja, baik siswa maupun mahasiswa, perlu menjadi perhatian semua pihak.
Nizam mengatakan menjaga kesehatan remaja seperti mahasiswa menjadi tugas bersama seluruh civitas akademica guna mewujudkan kampus sehat.
“Budaya peduli ini budaya kita, sehingga tidak ada lagi cerita mahasiswa ataupun dosen sampai depresi bahkan sampai bunuh diri. Itu tidak akan terjadi lagi kalau kita saling peduli. Kita saling asah, asih dan asuh,” kata Nizam pada bincang edukasi bertemakan, “Jaga Kesehatan Mental Wujudkan Generasi Tangguh,” yang diselenggarakan oleh Pusat Kesehatan Jiwa Nasional RSJ dr H Marzoeki Mahdi (PKJN RSJMM) Bogor bersama Cempaka Study Club yang disiarkan secara daring baru-baru ini.
Nizam menjelaskan budaya peduli di lingkungan kampus tidak perlu diatur secara terperinci dalam permendikbudristek, tetapi kesadaran internal kampus dan masyarakat kampus untuk saling peduli terhadap sesama.
Dikatakan Nizam, saat ini telah ada banyak contoh baik kampus yang menerapkan budaya kampus SAN yang dapat direplikasi oleh kampus lain. “Kalau dari sisi regulasi untuk mewujudkan kampus aman sudah ada beberapa permendikbudristek yang mengatur, tugas kampus untuk mewujudkan dalam operasionalisasi,” ucapnya.
Direktur Utama PKJN RSJMM Nova Riyanti Yusuf menyebutkan media sosial (medsos) menjadi faktor utama penyebab stres pada remaja saat ini. Selain itu, stres juga dipicu oleh ekspektasi, yakni remaja meraih prestasi yang lebih rendah dari ekspektasi orang tua.
Untuk itu, Nova berharap orang tua harus belajar literasi kesehatan jiwa dan adaptif dengan zaman. Pasalnya, kurikulum pendidikan saat ini telah mengarah kepada merdeka belajar yang mendukung minat bakat siswa bukan ekspektasi orang tua.
“Sistem belajar sudah merdeka belajar tetapi orang tua tetap ekspektasi. Orang tua harus mengikuti arah pendidikan merdeka belajar dan itu tidak nyambung (dengan ekspektasi orang tua). Orang tua harus mau belajar literasi kesehatan jiwa dan adaptif dengan zaman,” tukasnya.
Selain orang tua, peran guru bimbingan dan konseling (BK) harus diubah. Saat ini guru BK lebih fokus pada bimbingan karier siswa, sehingga tidak arah konseling persoalan yang dihadapi siswa. Guru BK dan orang tua seharusnya lebih proaktif untuk mempelajari literasi tentang kesehatan jiwa.
“Literasi mental health keluarga harus memahami, kalau sudah berikhtiar tetap terjadi hal-hal yang tidak diinginkan minimal sudah berusaha sebagai orang tua,” tandas Nova.
Nova juga menyebutkan perlu pemahaman dasar orang tua karena Indonesia masih memiliki tantangan dalam pengembangan program kesehatan jiwa, seperti regulasi yang masih ambigu, kekurangan data, dan keterbatasan anggaran.(dfp)
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)