Sikap keras PKB dan keisengan Gus Men sejatinya ekspresi dari dua kutub ekstrem politik NU kontemporer.
RUANGPOLITIK.COM – Asyik menyimak “tik tok”-an PKB dengan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, setidaknya dua kali Gus Men melontarkan “candaan iseng” pada Pasangan Amin (bukan pada PKB): pilih Amin adalah bid’ah dan jangan pilih pasangan yang bermulut manis.
Pernyataan Gus Men direspon keras oleh PKB. Gus Men yang kader ‘aktif” partai bikinan PBNU ini, diultimatum untuk menjaga mulutnya. Bahkan PKB tengah menyusun langkah-langkah untuk mendisiplinkan.
Sikap keras PKB dan keisengan Gus Men sejatinya ekspresi dari dua kutub ekstrem politik NU kontemporer.
Dua hal ini besar kemungkinan akan hadir hilir mudik di ruang publik dan bahkan semakin mengeras.
Ada sejumlah fakta dan faktor kenapa relasi PKB-Menag ke depan makin mengeras?, Pertama, Gus Men adalah “kepanjangan lidah” PBNU.
Titah politik PBNU, seakan menjadi lintah penyedot darah PKB jika disuarakan melalui lidah Gus Men.
Kedua, Gus Men secara sengaja mengganggu relasi harmonis PKB-PKS,-Nasdem dan utamanya capres Anies Baswedan. Secara tidak langsung pernyataan Gus Men adalah second opinion, ” laporan pembanding” ke Anies bahwa PKB rapuh, pencawapresan cak Imin hanya sekedar mencantumkan nama Muhaimin pada kertas suara pilpres, sekaligus demi menghindari Muktamar Luar Biasa (MLB).
Ketiga, rapuhnya dukungan dari PKB ke pasangan Amin, terlacak dari senyapnya sambutan massa pada serangkaian road show Amin di Jatim, kecuali di Madura.
Keempat, pernyataan-pernyataan Gus Men hakekatnya adalah delegitimasi dukungan massa NU atas pasangan Amin. Jika delegitimasi ini terus terjadi, PKB terindikasi tidak komit, tidak solid dan hanya komat-kamit mendukung Anies.
Kelima, untuk menghentikan itu semua agar tidak merugikan strategi elektoral pasangan Amin sekaligus sebagai bukti komitmen PKB kepada Anies Baswedan sebagai capres dan sebagai pribadi, PKB bisa segera mem-budiman-kan Gus Men.
Keenam, PKB juga bisa mempertimbangkan ulang tawaran untuk gabung dengan koalisi pimpinan PDIP, daripada dipandang publik gagal mengkonsolidasi kekuatannya.
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)