Dalam konteks demikian, agaknya kita menemukan momentum yang tepat untuk kembali mendekatkan diri kepada Allah, dengan berakidah yang benar dan merealisasikan akidah itu dalam bentuk ‘pengorbanan’ apapun yang kita miliki kepada saudara-saudara kita yang membutuhkan—dengan tanpa melihat paham dan golongan mereka.
RUANGPOLITIK.COM —Sebentar lagi kita beridul adha, untuk kembali menegasikan bahwa kita adalah ummat yang satu. Ummat yang diikat dengan akidah yang sama, yaitu akidah Islam, persaudaraan kita juga ‘laksana saudara sekandung’ karena kita diikat dengan iman yang sama.
Itulah kenapa Kata Prof. Quraish Shihab dalam al-Quran disebut dengan innama al-mukminuna ikhwatun. Ikhwah bermakna saudara sekandung. Duka ummat Islam dimanapun adalah duka kita, bahagianya mereka juga bahagianya kita.
Dalam konteks demikian, agaknya kita menemukan momentum yang tepat untuk kembali mendekatkan diri kepada Allah, dengan berakidah yang benar dan merealisasikan akidah itu dalam bentuk ‘pengorbanan’ apapun yang kita miliki kepada saudara-saudara kita yang membutuhkan—dengan tanpa melihat paham dan golongan mereka.
Inilah yang diperlihatkan oleh panutan kita, rasulullah saw yang tidak hanya menyampaikan risalah, tetapi juga mengimplementasikannya dalam fragmentasi kehidupan keseharian dan ini pula yang diperlihatkan oleh khalilullah, Nabi Ibrahim as yang konsisten untuk mencintai Allah dan segala perintahnya di atas segalanya—termasuk kebahagiaannya bersama keluarga—yang bersifat semu dan sementara.
Pemimpin Sejati; Bukan Lipservice
Memimpin itu menderita, memimpin itu tanggungjawab, memimpin itu memotivasi, demikian yang ditulis oleh Alfan Alfian. Tentu banyak lagi sederet kalimat untuk menjelaskan tentang makna kepemimpinan.
Mungkin juga ada yang menulis pemimpin sama dengan kekuasaan yakni sebuah kesempatan dan peluang untuk memperkaya diri dan kroninya. Atau mungkin juga ada yang ‘aneh’—di zaman Kalatida, zaman edan seperti yang disampaikan Ronggo Warsito—masih ada yang mengatakan bahwa kekuasaan bukanlah segalanya, kekuasaan itu intinya adalah mensejahterakan.
Yang pasti pendekar sejati bukanlah pemimpin berkelas salon, yang merengek pada dan takut kehilangan kekuasaan, sehingga begitu masa jabatannya habis ingin mencari penggantinya yang diharapkan bisa meneruskan keinginannya atau untuk menutupi ‘aib’ selama kepemimpinannya.
Pemimpin otentik tidak perlu bedak dan gincu. Ia tidak takut keramain kerumunan, dan juga pada kesepian dan kesendirian. Ia tidak perlu polesan yang terjebak pada lipservice. Pemimpin merubah kerumunan menjadi barisan, jamaah, para pengikut yang visioner, para kader yang mumpuni.
Di wilayah dan segmen apa saja—termasuk politik—pemimpin sejati tetap sejati, karakternya tidak akan lentur oleh godaan. Pemimpin sejati tidak mengandalkan kesombongan untuk menutupi kelemahan, ingin dilayani, antikritik, bermental feodal untuk mempertahankan kekuasaannya dengan menghalalkan segala cara. Kalau ini yang dilakukan tidak hanya Petruk saja dalam kisah inovasi pewayangan, bisa jadi Raja. Tapi meminjam bahasa Nurcholish Madjid, karena kita telah mengalami demokrasi setan gundul pun, kalau jadi Presiden/gubernur/bupati/camat/kuwu pilihan rakyat, apa mau dikata.
Persoalannya, masih adakah pemimpin sejati, ketika di Indonesia misalnya untuk memilih seorang pemimpin masuk kategori highcost? Terlalu mahal, sehingga banyak di antara pemimpin kita yang mengalami disorientasi nilai, ujung akhirnya korupsi dan menafi’kan perjuangan untuk mensejahterakan rakyatnya. Gelap mata dan kehilangan keteladan, lupa bahwa ia seorang pemimpin yang akan menjadi prototype dan akan diadaptasi perilakunya oleh para pengikutnya.
Kepemimpinan Nabi Ibrahim as; Sebuah Prototype
Adalah hal yang tepat di momentum Iedul Adha ini kita mencoba untuk mentadabburi, melakukan refleksi dan meneladani apa yang sudah difragmentasikan oleh Nabi Ibrahim sebagai seorang pemimpin dan keluarganya.
Pemimpin yang rela berkorban untuk kemajuan negara dan rakyatnya—bahkan untuk generasi berikutnya—ini yang dilakukan Nabiyullah Ibrahim as dan nabi-nabi lain juga selalu berkomitmen untuk berkorban bahkan sampai ke tingkat nyawa hanya untuk kepentingan rakyat dan agamanya.
Dalam QS. Ash-Shaffat [37]: 102) digambarkan:
Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”
Dalam “Prophetic Leadership”-nya Achyar Zein disebutkan: Nabi Ibrahim as juga rela berkorban untuk mempertaruhkan nyawa ketika menghadapi para penyembah berhala dengan sebuah konsekuensi hidup atau mati. Konsekuensi ini karena yang dihadapi Nabi Ibrahim masyarakat yang tidak mau berpikir secara rasional. Di saat yang sama beliau juga menjadi korban perasaan dan menghadapi kendala psikologis dalam perjuangannya menegakkan Aqidah karena harus berhadapan dengan orang tuanya sendiri yang notabenenya sebagai pembuat berhala.
Tidak berhenti sampai di situ ia pun harus menghadapi kenyataan untuk dibakar hidup-hidup dan diasingkan. Berhadapan dengan raja/pemimpin yang dhalim dan tiran serta masyarakat yang kejam sehingga nyawa selalu menjadi ancaman bagi nabi Ibrahim as.
Bentuk pengorbanan lain yang dilakukan oleh nabiyullah Ibrahim adalah pengorbanannya yang luar biasa untuk membangun dasar-dasar baitullah—yang dapat dipastikan—bahwa nabi Ibrahim tidak pernah menerima fee uang proyek dari pembangunan yang dikerjakannya ini. Bahkan sebaliknya nabi Ibrahim banyak berkorban dari sisi harta, tenaga dan pemikiran dalam pembangunan baitullah ini yang sama sekali bukan untuk kepentingan nabi Ibrahim dan keluarganya, tetapi untuk kepentingan ummat dan masyarakat.
Ayat ini menyatakan, Nabi Ibrahim sebagai seorang pemimpin harus diikuti dan ditaati karena kepribadian, ucapan dan tingkah lakunya yang saling bersesuaian, bukan hanya lipservice—seperti janji para politisi kita—yang menurut M. Alfan Alfian adalah lazim saja. Kalau Rene Descartes beradagium cogito ergo sum—aku perpikir, maka aku ada—pemimpin politik; aku berjanji maka aku ada. Politisi selalu berdalih, janji kampanye itu satu hal, realisasi adalah hal lain. Ini mirip sindiran mantan PM Uni Soviet Nikita Khrushchev politisi itu semuanya sama; mereka janji membangun jembatan, meskipun tidak ada sungai.
Allah SWT., juga berfirman dalam QS. An-Nahl ayat 120:
inna ibrāhīma kāna ummatang qānital lillāhi ḥanīfā, wa lam yaku minal-musyrikīn
(Sungguh, Ibrahim adalah seorang imam (yang dapat dijadikan teladan), patuh kepada Allah dan hanif. Dan dia bukanlah termasuk orang musyrik (yang mempersekutukan Allah).
Allah menegaskan bahwa dalam diri Nabi Ibrahim terdapat teladan, sebab hanya Nabi Ibrahim yang selalu kita sebut dalam shalat, selain Nabi Muhammad saw. Doa yang kita baca untuk Nabi Muhammad ketika tasyahúd selalu disetarakan dengan doa kepada Nabi Ibrahim.
Dalam Islam keteladanan, dikenalkan dengan istilah uswátun hasánah, yaitu sebuah konsep moralitas seorang pemimpin dalam pola interaksi, komunikasi dengan rakyatnya. Sebelum Nabi Ibrahim as hadir saat itu pola interaksi pemimpin dan masyarakat adalah militeristik dan otoriteristik.
Kemudian Nabi Ibrahim hadir membawa pola interaksi dengan paradigma baru yaitu mengedepankan moralitas dan contoh teladan yang baik. Sebuah gerakan moral yang bersifat soft-power, dengan menjunjung tinggi keteladanan, penegakan hak asasi manusia dan akhlak mulia.
Dalam posisinya sebagai pemimpin umat yang menjunjung tinggi moralitas, Al- Quran menjelaskannya dalam Surat Al Baqarah ayat 124:
wa iżibtalā ibrāhīma rabbuhụ bikalimātin fa atammahunn, qāla innī jā’iluka lin-nāsi imāmā, qāla wa min żurriyyatī, qāla lā yanālu ‘ahdiẓ-ẓālimīn
(Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “Dan (juga) dari anak cucuku?” Allah berfirman, “(Benar, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.”)
Pangkat pemimpin (imam) yang dianugerahkan Allah kepada Nabi Ibrahim itu ditetapkan atas kehendak-Nya. Bukan ditetapkan karena Nabi Ibrahim telah menyelesaikan dan menyempurnakan tugas yang diberikan kepadanya. Agar dia menyadari bahwa pangkat yang diberikan Allah itu sesuai baginya dan agar dia merasa dirinya mampu melaksanakan tugas dan memikul beban yang telah diberikan.
Memimpin adalah Tugas Mulia
Tugas pemimpin merupakan tugas yang suci dan mulia karena pemberian tugas itu bertujuan hendak mencapai cita-cita yang suci dan mulia. Rasul yang mulia, Muhammad SAW. juga teladan yang patut diikuti dalam konteks kepemimpinan yakni melayani pengikutnya. Dengan gaya kepemimpinan beliau yaitu servant leadership menjadikan beliau sebagai pemimpin yang berpengaruh dan memudahkan seorang pemimpin untuk mencapai tujuannya. Terutama dalam perbuatannya dalam merawat dan melayani sehingga dapat mempengaruhi orang-orang di sekitarnya menjadi terdidik dan merasakan kesejahteraan.
Tidak elok jika ada pemimpin yang menghindari tanggung jawabnya dengan berbagai dalih mengada-ada atau mencari pembenaran. Pemimpin seperti itu merupakan penumpang gelap demokrasi. Hanya mencari popularitas di atas kepatuhan buta pengikutnya. Bukankah fungsi seorang pemimpin bukan hanya sekadar sosok untuk memenuhi perangkat organisasi. Lebih dari itu, pemimpin merupakan role model untuk memberi citra suatu organisasi.
Sepak terjang pemimpin menggambarkan kredibilitas pribadi sang pemimpin sekaligus karakter massa pendukung dan kualitas organisasi pengusungnya. Maka, oleh sebab itu seorang pemimpin wajib memiliki berbagai karakter positif, seperti jujur, melayani, berani, siap dikritik dan rela berkorban. Pemimpin harus berani menghadapi kenyataan akibat ucapan dan perbuatannya yang tidak koneksitas.
Dalam fikih siyasyah moral yang menjadi dasar kebijakan dan tindakan pemimpin adalah untuk kemaslahatan agama dan bangsa, kaedah fikih menyebutkan: “tasharruf imam `ala al-ra`iyyah manuthun bi al-mashlahah“, (Tindakan pemimpin atas rakyat terikat oleh kepentingan atau kemaslahatan umum) Jadi, pemimpin wajib bertindak tegas demi kebaikan bangsa, bukan kebaikan diri dan kelompoknya semata.
Potret kepemimpinan Nabi Ibrahim dapat dideskripsikan dari berbagai perintah Allah swt, dan aksi nyata dalam membawa cita-cita reformasi untuk perbaikan nasib ummat manusia, sehingga dapat kita aplikasikan dalam kehidupan nyata. (Penulis adalah Ketua STKIP al-Amin Indramayu dan Dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Tinggal di Kandanghaur Indramayu).
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)