Menurut dia, sebanyak 421 perusahaan di DKI Jakarta dikategorikan bermasalah dalam pembayaran THR kepada karyawannya
RUANGPOLITIK.COM —Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menyatakan telah menerima 2.369 pengaduan dari masyarakat terkait pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR).
Berdasarkan laporan tersebut, tercatat 1.529 perusahaan dianggap lalai memberikan THR kepada karyawannya.
Sekjen Kemenaker, Anwar Sanusi, menyampaikan hal tersebut pada penutupan posko pengaduan THR, Jumat, 28 April 2023.
Menurut dia, sebanyak 421 perusahaan di DKI Jakarta dikategorikan bermasalah dalam pembayaran THR kepada karyawannya.
“Ini merupakan jumlah terbanyak di Indonesia, disusul oleh Jawa Barat dengan 304 perusahaan,” kata Anwar.
Sedangkan Provinsi Sulawesi Barat tercatat tidak ada pengaduan sama sekali. Dari 2.369 pengaduan yang masuk, sebanyak 1.197 melaporkan THR tidak dibayarkan sama sekali.
Sedangkan 780 pengaduan menyebutkan THR dibayarkan tidak sesuai ketentuan. Kemudian, sebanyak 392 pengaduan terkait THR yang terlambat dibayarkan.
“Hingga saat ini kami telah menindaklanjuti 375 pengaduan,” ucap Anwar.
Menurut Anwar, Kemenaker akan segera menggelar rapat koordinasi yang melibatkan seluruh Pengawas Ketenagakerjaan.
“Kami akan melakukan konsolidasi, verifikasi, dan validasi data laporan pengaduan untuk ditindaklanjuti oleh Pengawas Ketenagakerjaan,” katanya.
Soal THR 2023
Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan telah mengatur mekanisme pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) sebagai acuan bagi Kepala Dinas Ketenagakerjaan di masing-masing provinsi.
Aturan tersebut seperti yang tertuang dalam Surat Edaran (SE) M//HK.0400/III/2023 tentang Pelaksanaan Pemberian THR Keagamaan 2023 bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah mengungkapkan yang paling utama, THR 2023 wajib diberikan paling lambat H-7 Lebaran dan harus dibayar penuh, tidak boleh dicicil. Artinya THR sudah harus diterima para pekerja/buruh pada tanggal 15 April 2023.
“THR wajib dibayarkan paling lambat 7 hari sebelum hari raya keagamaan. Harus dibayar penuh! tidak boleh dicicil,” kata Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah dalam Konferensi Pers Kebijakan Pembayaran THR Keagamaan Tahun 2023 secara virtual.
Kemudian keputusan kedua adalah siapa yang berhak menerima THR. Menurut Ida THR keagamaan diberikan kepada pekerja/buruh yang mempunyai hubungan kerja dengan pengusaha berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu (kontrak).
“Pekerja atau buruh yang telah mempunyai masa kerja 1 bulan, secara terus menerus atau lebih, baik yang mempunyai hubungan berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT), perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) termasuk pekerja atau buruh harian lepas yang memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” tuturnya.
Lalu untuk besaran THR 2023, mengacu Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. Berikut ini besaran THR 2021 yang diatur oleh Kemnaker:
Bagi Pekerja/Buruh yang memiliki masa kerja 12 bulan terus menerus atau lebih, maka THR akan diberikan sebesar satu bulan upah. Sementara pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja 1 bulan secara terus menerus, tetapi kurang dari 12 bulan, diberikan secara proporsional sesuai masa kerja, dengan rumus (masa kerja x 1 bulan upah : 12).
“Besarnya THR bagi pekerja atau buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih diberikan THR sebesar 1 bulan upah. Sedangkan bagi pekerja atau buruh dengan masa kerja 1 bulan secara terus menerus tapi kurang dari 12 bulan upah diberikan secara proporsional,” sebutnya.
Ida juga bilang akan ada sanksi khusus bagi perusahaan yang tidak membayarkan penuh THR atau membayar dengan cara dicicil kepada pekerja/buruh. Sanksi ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
Adapun sanksinya berupa:
1. Pengenaan sanksi berupa teguran tertulis,
2. Pembatasan kegiatan usaha,
3. Penghentian sementara atau sebagian alat produksi,
4. Pembekuan kegiatan usaha.
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)