RUANGPOLITIK.COM — Kontroversi perbedaan penetapan hari raya selalu terjadi setiap tahun. Namun untuk lebaran kali ini, seorang akademisi menyampaikan fenomena alam Gerhana Matahari Hibrida dengan lebaran sesuai dengan Ilmu Falak lulusan Magister Ilmu Falak Universitas Walisongo.
Dalam tulisan Najmuddin Syaifullah yang tercantum di situs Muhammdiyah, ia menyoroti hubungan antara gerhana matahari yang terjadi hari ini dengan metode hisab wujudul hilal.
Ia menjelaskan gerhana matahari terjadi ketika matahari, bulan, dan bumi berada dalam satu garis lurus. Posisi ini terjadi ketika bulan baru, yaitu saat matahari dan bulan mengalami konjungsi (ijtimak).
Sedangkan gerhana bulan terjadi ketika matahari, bumi, dan bulan berada dalam satu garis lurus. Posisi ini terjadi saat bulan purnama.
Berdasarkan konsep tersebut, kata dia, maka bisa dipastikan gerhana matahari terjadi ketika bulan baru, akan tetapi setiap bulan baru belum tentu terjadi gerhana.
Begitu juga dengan gerhana bulan yang pasti terjadi ketika bulan purnama, tetapi setiap bulan purnama belum tentu terjadi gerhana.
“Apabila hari ini terjadi gerhana matahari, maka besok sudah masuk bulan baru hijriah. Akan tetapi kembali lagi kepada waktu terjadinya gerhana, jika gerhana terjadi di waktu antara pagi sampai siang, maka besok kemungkinan besar sudah bulan baru karena tinggi hilal sudah berada di atas ufuk,” tulis dia.
“Akan tetapi apabila gerhana matahari terjadi ketika sore, maka hilal kemungkinan masih di bawah ufuk dan besok belum masuk bulan baru,” imbuh dia.
Ia mengatakan gerhana matahari tahun ini terjadi di bulan Ramadan, sehingga menyita perhatian banyak orang sebab berkaitan dengan penentuan Idulfitri.
Najmuddin menjelaskan tinggi hilal pada 29 Ramadhan 1444 H atau 20 April 2023 (hari terjadinya gerhana matahari) di Banda Aceh adalah 2°21,39′.
Tinggal hilal itu sudah cukup masuk kriteria hisab hakiki wujudul hilal, sehingga Jumat (21/4) sudah masuk bulan Syawwal.
Akan tetapi tinggi hilal tersebut belum memenuhi kriteria MABIMS (kumpulan Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura guna mengusahakan unifikasi kalender Hijriah) yang mensyaratkan tinggi hilal 3° dan elongasi 6,4°.
“Oleh karena belum memenuhi kriteria MABIMS, maka besok belum masuk bulan baru dan Syawal akan dimulai lusa (tanggal 22 April 2023). Perbedaan metode penentuan awal bulan di atas akan mengakibatkan Idulfitri nanti tidak dilaksanakan secara serentak,” tulisnya.
Editor: Ivo Yasmiati
(RuPol)