Kegentingan yang memaksa bisa menjadi alasan dibuatnya Perppu tersebut jika Pemerintah (eksekutif) yang dipimpin Presiden Jokowi memandang dasar hukum perampasan aset itu dibutuhkan segera
RUANGPOLITIK.COM—Nasib Undang-undang atau UU Perampasan Aset masih belum jelas usai baik Presiden Jokowi, DPR, dan Menteri Hukum dan Ham Yasonna H Laoly mengeluarkan pernyataan yang bertentangan.
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nur Wahid buka suara. Ia menyarakan soal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Perampasan Aset yang bisa dibuat Presiden Jokowi.
“Kalau memang mau lebih cepat pengesahannya dan dirasakan adanya keperluan genting dan mendesak, Presiden bisa kembali mengajukan aturan perampasan aset ini dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dengan alasan kegentingan yang memaksa, sebagaimana yang sudah biasa dilakukan Pemerintah,” ujar HNW kepada awak media.
Kegentingan yang memaksa bisa menjadi alasan dibuatnya Perppu tersebut jika Pemerintah (eksekutif) yang dipimpin Presiden Jokowi memandang dasar hukum perampasan aset itu dibutuhkan segera.
Pemerintah belum menuntaskan draf UU Perampasan Aset
Hidayat Nur Wahid menyebut draf UU Perampasan Aset yang ditugaskan kepada Pemerintah belum juga dikirimkan kepada DPR. Menurut politisi PKS tersebut, draf itu amat dibutuhkan untuk menuntaskan kasus besar yang melibatkan aset.
Contohnya adalah kasus dugaan transaksi mencurigakan Rp349 triliun yang diduga terjadi di Kementerian Keuangan pimpinan Sri Mulyani. Aturan itu juga bisa menjerat tersangka kasus korupsi yang kini maupun nanti ditangani baik oleh KPK, Kejaksaan, maupun Polri.
“Itu akan bisa cepat disetujui oleh mayoritas mutlak partai dan fraksi di DPR. Jadi, regulasi yang dibutuhkan berupa RUU Perampasan Aset itu harus seiring sejalan dengan terus dilakukannya reformasi terhadap penegak dan penegakan hukum di Indonesia agar tujuan dari hadirnya RUU ini dapat diwujudkan,” ujar pria yang juga dikenal sebagai HNW tersebut.
Sejalan dengan pernyataan Hidayat, Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani juga menyebut masih menunggu naskah akademik dan draf dari Pemerintah terkait UU Perampasan Aset tersebut.
“Makanya yang harus menyiapkan naskah akademik dan draf RUU-nya adalah Pemerintah. Posisi DPR menunggu itu dan kemudian nantinya kalo sudah disampaikan kepada DPR kedua dokumen tersebut, maka DPR yang bikin DIM (Daftar Inventarisasi Masalah). Jadi apakah RUU ini bisa dibahas atau tidak? Maka posisi DPR itu menunggu Pemerintah, dan karenanya tidak betul kalau dikatakan DPR menolak RUU ini,” katanya pada Sabtu, 1 April 2023, dilansir dari laman DPR.
Jokowi dan Menkumham ungkap pernyataan berbeda
Menkumham Yasonna H Laoly menyatakan hanya tinggal menunggu instruksi Presiden untuk menuntaskan UU Perampasan Aset tersebut. Hal itu terungkap lewat pemberitaan media massa nasional pada Selasa 4 April 2023 yang diunggah Said Didu.
“Bapak Presiden Yth, menurut Menkumham bahwa RUU tersebut masih menunggu persetujuan Bapak sebelum dikirim ke DPR. Mengingatkan saja, Pak, ini bulan puasa – sekali2 jujur lah, Pak,” kata pria yang pernah menjadi pejabat BUMN tersebut dalam unggahan pada Kamis 6 April 2023.
Sementara itu Jokowi menyatakan agar DPR segera mengesahkan UU tersebut. Hal itu disampaikannya saat meninjau Pasar Johar Baru, Jakarta Pusat, pada Rabu 5 April 2023.
“RUU Perampasan Aset itu memang inisiatif dari pemerintah dan terus kita dorong agar itu segera diselesaikan oleh DPR. Dan ini prosesnya sudah berjalan. Saya harapkan dengan UU Perampasan Aset itu, dia akan memudahkan proses-proses, terutama dalam tindak pidana korupsi untuk menyelesaikan setelah terbukti karena payung hukumnya jelas,” ucap orang nomor satu di Indonesia tersebut.
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)