RUANGPOLITIK.COM — Keinginan petinggi parpol untuk membentuk Koalisi Besar masih menjadi diskusi. Pasalnya banyak nama-nama besar yang terlibat didalamnya dan sulitnya tercapai kesepakatan siapa tokoh yang akan diusung. Begitu juga mencuat narasi jika koalisi ini terbentuk, maka PDIP harus dapat tiket RI-1.
Menanggapi hal ini, Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Amanat Nasional Bima Arya Sugiarto mengakui ada keinginan kuat dari sejumlah parpol untuk membentuk sebuah koalisi besar. Namun penentuan nama tersebut diyakini baru diambil pada detik-detik akhir jelang pendaftaran.
Karena jika koalisi ini terbentuk, maka ada kandidat kuat capres yakni Prabowo Subianto, Airlangga, Muhaimin Iskandar. Sementara dari PDIP ada dua nama yang beredar yakni Ganjar Pranowo dan Puan Maharani. Meski elektabilitas Ganjar condong tinggi, namun pasca penolakan timnas Israel pamor Ganjar agak sedikit meredup.
“Iya, iya (pernah jadi top) tapi ini masih terlalu dini untuk menyimpulkan sesuatu, kan baru beberapa hari. Sedangkan tren itu berfluktuasi. Bisa jadi ini berkurang atau bisa jadi ini menambah (meningkatkan elektabilitas Ganjar),” ucapnya Jumat (7/4/2022).
Di satu sisi, katanya, terlihat banyak publik yang kecewa atas pernyataan Ganjar yang menolak pemain sepak bola Israel bertanding dalam piala dunia yang diselenggarakan di Indonesia, tapi di sisi lain sikap Ganjar juga narasi konsistensi untuk menegakkan ideologi bangsa.
“Intens terus (komunikasi), secara pribadi juga saya komunikasi sama mas Ganjar,” tukasnya.
Skenario Parpol Rebut Golden Tiket PDIP
Pengamat politik Ahmad Khoirul Umam menilai langkah koalisi besar adalah strategi politik untuk mengepung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) agar bersedia menyerahkan golden ticket-nya. Seperti diketahui, PDIP satu-satunya parpol yang bisa mengusung calon presiden sendiri.
“Namun PDIP tampaknya tidak ingin mudah teperdaya oleh agenda kepentingan Koalisi Besar tersebut. PDIP membatasi ruang negosiasinya dengan menegaskan bahwa mereka siap bergabung asal posisi capres diserahkan kepada PDIP,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Institute for Democracy & Strategic Affairs (Indostrategic) ini menilai sikap Megawati dan PDIP untuk tidak hadir dalam pertemuan yang menggagas Koalisi Besar merupakan keputusan brilian. Meskipun Ketum PAN mengatakan PDIP diundang, tapi jelas tidak satu pun perwakilan pengurus PDIP hadir.
“Ketiadaan perwakilan PDIP kemarin itu pastilah atas perintah atau sepengetahuan Megawati. Artinya, ketika ide Koalisi Besar diluncurkan, maka jelas dan terang bahwa PDIP bukan bagian dari gerbong Koalisi Besar tersebut,” tegas dosen Universitas Paramadina tersebut.
Khoirul Umam menerangkan dengan pengalaman matang Megawati di belantika politik nasional, PDIP tampaknya mencium aroma partainya sedang “dibujuk” atau “didikte” untuk menyerahkan tiketnya kepada pencapresan Prabowo yang hendak diusung oleh mesin Koalisi Besar. Belakangan, Jokowi memang terlihat sering berkunjung ke berbagai daerah bersama Prabowo.
Editor: Ivo Yasmiati
(RuPol)