RUANGPOLITIK.COM — Rencana pembentukan koalisi besar untuk menghadapi Pemilu 2024 terus disuarakan ke publik. PDI Perjuangan yang sebelumnya tak ikut di dalam pertemuan antara Presiden Joko Widodo dengan parpol koalisi pemerintahan di Kantor DPP Partai Amanat Nasional (PAN), beberapa waktu lalu, bahkan bersedia menjadi tuan rumah untuk silaturahmi berikutnya.
Hingga kini belum muncul sosok capres-cawapres yang hendak diusung oleh koalisi besar, meskipun di dalamnya terdapat beberapa tokoh yang punya elektabilitas potensial.
Juru Bicara Partai Golkar Tantowi Yahya mengaku soal pembahasan capres dan cawapres di koalisi besar akan dilakukan jika koalisi itu sudah terbentuk.
“Koalisi besar ini baru pondasi. Masih akan ada beberapa pertemuan lagi untuk membangun rumah dan atapnya. Artinya masih terlalu awal untuk bicara siapa capres dan cawapresnya,” kata Tantowi, Rabu (5/4/2023).
“Jika PDI-P mempunyai kesamaan pandangan tentang bagaimana membangun bangsa ini ke depan, ya monggo (bergabung Koalisi Besar). Soal siapa yang akan jadi capres, kita bahas nantilah,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Institute for Democracy & Strategic Affairs (Indostrategic) Ahmad Khoirul Umam menilai, rencana pembentukan koalisi besar ini akan terus mebayang-bayangi PDI Perjuangan yang hingga kini belum menentukan sikap untuk bergabung ke dalam koalisi.
Diketahui, dari lima partai yang ikut di dalam pertemuan dengan Presiden Jokowi, kelimanya telah bergabung ke dalam koalisi. PKB dan Gerindra bergabung ke dalam Koalisi Indonesia Raya (KIR), sementara PAN, PPP dan Golkar bergabung ke dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB).
“PDI-P tampaknya juga paham bahwa gerbong koalisi besar tengah mengepung dirinya agar bersedia ‘berpuas diri’ menempati posisi nomor sebagai posisi cawapres. Karena itu, bagi PDI-P, proposal pencapresan Prabowo yang diajukan koalisi besar itu bisa diartikan sebagai penghinaan,” ujar Umam.
PDI-P sebagai partai pemenang Pemilu 2019 lalu, memiliki kursi yang cukup untuk mengusung sendiri pasangan capres-cawapres pada Pilpres 2024. Sehingga, bukan perkara mudah untuk menarik PDI-P masuk ke dalam rencana pembentukan koalisi ini.
Apalagi, menurut Umam, Jokowi tidak bergerak sendiri. Sebab, ia memandang, ada peran Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan di belakangnya.
Ia pun menduga bahwa tujuan pembentukan koalisi besar ini agar PDI-P menyerahkan “golden ticket”-nya tersebut.
“Namun, PDI-P tampaknya tidak ingin mudah diperdaya oleh agenda kepentingan koalisi besar tersebut. PDI-P membatasi ruang negosiasinya dengan menegaskan bahwa dirinya siap bergabung asal posisi capres diserahkan kepada PDI-P,” kata Umam.
“Karena PDI-P memiliki elektabilitas partai yang lebih tinggi, punya capres potensial yang elektabilitasnya juga lebih tinggi, dan bahkan punya golden ticket yang bisa mengusung calon sendiri,” ungkapnya.
Senada, Ketua DPP PDI-P Said Abdullah mengatakan bahwa bila ingin PDI-P bergabung ke dalam koalisi, tentu syaratnya capres adalah kader banteng.
”Positioning PDI-P adalah pemenang Pemilu 2019, basis pencalonan 2024, kan, hasil Pemilu 2019,” kata Said.
“Pada titik itu, kalau PDI-P mengambil posisi capres, ya, wajar-wajar saja, make sense-lah,” tukasnya.
Editor: Ivo Yasmiati
(RuPol)