RUANGPOLITIK.COM — Mahkamah Konstitusi (MK) menilai, ketentuan mengenai masa jabatan kepala desa tidak relevan bila disamakan dengan jabatan publik lain, termasuk presiden dan wakil presiden.
Dalam perkara ini, seorang warga bernama Eliadi Hulu selaku pemohon meminta agar ketentuan kepala desa yang dimungkinkan menjabat selama enam tahun dan terpilih untuk maksimal tiga periode diubah, hanya dapat menjabat lima tahun dan terpilih untuk maksimal dua periode.
Ratusan kepala desa sempat menggelar unjuk rasa besar-besaran di depan Gedung DPR RI menuntut revisi UU Desa guna mengubah ketentuan masa jabatan mereka.
“Tuntutan tersebut tentunya akan membunuh demokrasi di tingkat desa dan bertentangan dengan UUD 1945,” kata Eliadi lewat keterangan tertulis, Jumat (27/1/2023).
Hal ini disampaikan MK dalam putusan perkara nomor 15/PUU-XXI/2023 terkait ketentuan masa jabatan kepala desa yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
“Tidaklah relevan untuk mempersamakan antara masa jabatan kepala desa dengan masa jabatan publik lainnya, termasuk dengan masa jabatan presiden dan wakil presiden serta masa jabatan kepala daerah,” tulis MK dalam salinan putusannya, dikutip pada Sabtu (1/4/2023).
Namun, MK menilai, permintaan tersebut tidak beralasan menurut hukum. Sebab, menurut MK, UUD 1945 hanya menentukan secara eksplisit pembatasan masa jabatan untuk beberapa jabatan publik saja, tetapi tidak temasuk jabatan kepala desa yang hanya diatur dalam undang-undang.
Dalam hal ini, Pasal 39 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Desa mengatur masa jabatan kepala desa adalah selama enam tahun dan dapat menjabat kembali paling banyak tiga kali masa jabatan sehingga seseorang dapat menjabat sebagai kepala desa paling lama 18 tahun.
“Dalam batas penalaran yang wajar, pembatasan demikian tidak hanya sebatas dimaksudkan untuk membuka kesempatan kepastian terjadinya alih generasi kepemimpinan di semua tingkatan pemerintahan termasuk di tingkat desa, tetapi juga mencegah penyalahgunaan kekuasaan (power tends to corrupt) karena terlalu lama berkuasa,” tulis MK.
MK pun berpandangan, perubahan aturan mengenai masa jabatan kepala desa sangat tergantung pada faktor filosofis, yuridis, dan sosiologis yang memengaruhi pada saat ketentuan tersebut dibuat.
Dengan kata lain, menurut MK, perubahan periodisasi masa jabatan kepala desa yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang tidak serta-merta dapat diartikan bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang tidak memuat hal yang dilarang oleh konstitusi.
“Termasuk juga apabila terdapat pembedaan mengenai jangka waktu kepala desa menjabat dengan masa jabatan publik lainnya, hal tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang,” tulis MK.
Editor: Ivo Yasmiati
(RuPol)