RUANGPOLITIK.COM — Pernyataan kontroversial Anies Baswedan soal politik identitas melahirkan kontroversi antar elit. Anies Baswedan mengatakan politik identitas tak bisa dihindari lantaran setiap calon yang bersaing selalu punya identitas yang melekat pada dirinya.
“Politik identitas itu adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Misalnya calon yang bersaing adalah laki-laki dan perempuan, maka di situ ada identitas gender,” kata Anies, Sabtu (18/3/2023).
Anies lantas bercerita tentang apa yang terjadi pada Pilkada DKI 2017, di mana kala itu yang bersaing adalah paslon dengan latar belakang beda agama. Anies berpasangan dengan Sandiaga Uno melawan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat.
“Yang terjadi pada 2017, calon yang bersaing agamanya berbeda. Maka identitasnya yang terlihat adalah agama. Itu akan terus terjadi selama calonnya punya identitas berbeda, baik gender, suku, maupun agama,” jelas Anies.
Pernyataan Anies ini ditanggapi oleh Anggota Bawaslu RI Totok Hariyono.
“Menggunakan isu SARA itu paling gampang, murah, dan mudah untuk meraup (suara). Karena apa? Melahirkan sentimen kelompok, paling gampang,” kata Totok di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, Sabtu (25/3/2023).
Totok menuturkan orang yang menempuh politik identitas, kenegarawanannya diragukan. Dia pun mempersilakan rakyat untuk menilai.
“Tapi kalau itu dilakukan, kualitas kenegarawanannya juga kita ragukan. Biarkan rakyat yang menilai,” ujarnya.
Menurut Totok, identitas merupakan pemberian Tuhan yang tidak bisa ditolak. Dia tetap mengimbau agar tidak menggunakan identitas untuk mencari perbedaan.
“Jadi perbedaan itu diarahkan untuk berbuat kebaikan, bukan untuk mencari perbedaan. Jangan menggunakan hal-hal yang berbau agama untuk memantik perbedaan, karena kita itu ideologi Indonesia itu tinggi. Makanya kita redam,” ungkap dia.
Lebih lanjut, Totok mengatakan calon pemimpin yang baik akan dapat memperhitungkan tindakan-tindakan yang dilakukannya. Sehingga, menurut dia, masyarakat dapat menilai tindakan yang dilakukan oleh calon pemimpin mereka.
“Calon negarawan ingat, peserta pemilu calon negarawan mana yang baik mana yang buruk, dia bisa mem-forcast, memperhitungkan, ‘Oh kalau saya gunakan ini, nanti akan memancing ya, polarisasi’,” terang Totok.
“Itulah kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual dari calon kepala negara. Dan rakyat akan menilai apakah calon pemimpin, calon negarawan ini menggunakan cara-cara yang baik atau tidak,” tukasnya.
Politik identitas ini dinilai sangat berbahaya, bahkan dapat mengancam keterbelahan rakyat. Dan ini tentunya berlawanan dengan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Kritikan ini disampaikan oleh Pakar Komunikasi Politik Emrus Sihombing.
“Menurut saya para kandidat itu sendiri bersama-sama menolaknya supaya itu nggak berkembang. Tapi ketika para kandidat itu membiarkan, ya sama saja, dia bagian dari politik identitas yang tidak sesuai dengan Pancasila itu, Bhinneka Tunggal Ika,” ujarnya, Jumat (24/3/2023).
Jangan sampai polarisasi kembali terjadi seperti pada Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019 yang lalu, yang membuat masyarakat terbelah karena politik identitas.
Soal pernyataan bakal calon presiden Anies Baswedan bahwa politik identitas tidak bisa dihindari dalam kontestasi politik, menurutnya kemungkinan itu bisa saja terjadi.
“Kalau muncul dari perspektif yang positif boleh, tapi jika muncul dari perspektif negatif bisa saja. Misalnya, dari keturunan A, keturunan yang minoritas di negara ini. bisa saja diangkat itu. itu tidak baik, tak boleh,” tukasnya.
Editor: Ivo Yasmiati
(RuPol)