RUANGPOLITIK.COM — Jajaran petinggi partai Demokrat tak terima dengan tudingan yang disampaikan oleh Sekjen PDIP kepada Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lupa sejarah terkait sistem pemilu.
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang menyebut mantan Syahrial mengatakan persoalan judicial review soal sistem pemilu yang tengah bergulir di MK saat ini bukanlah perang antara Demokrat dan PDIP. Dia menyebut ini persoalan bangsa yang harus disikapi hati-hati.
“Persoalan JR yang tengah berlangsung di MK bukan perang kepentingan antara Demokrat dengan PDIP. Melainkan persoalan bangsa yang harus disikapi secara hati-hati. Dan kondisi ini juga diamini lewat sikap delapan fraksi yang ada DPR RI, menolak Pemilu dengan Proporsional Tertutup. Bukan hanya Demokrat,” ucap Deputi Analisa Data dan Informasi DPP Partai Demokrat Syahrial Nasution kepada wartawan, Minggu (19/2/2023).
Demokrat justru menuding Hasto sedang halusinasi.
“Menurut saya, Sekjen PDIP Hasto sedang berhalusinasi ketika menyebut Pak SBY tidak mengerti sejarah terkait polemik sistem pemilu legislatif proporsional terbuka dan tertutup. Beda kelas dan kualitas antara SBY dan Hasto dalam menyikapi keadaan dan situasi negara dalam berdemokrasi,” tegasnya.
Syahrial pun menekankan hanya PDIP yang ingin sistem pemilu kembali tertutup. Menurutnya, hanya PDIP yang mau rakyat tak dilibatkan dalam proses demokrasi.
“Hanya PDIP yang menginginkan rakyat tidak dilibatkan dalam proses demokrasi partisipatif. Yaitu, memilih calon legislatif dan partainya. Justru, hanya PDIP yang ingin mengembalikan sejarah sistem Orde Baru kembali diadopsi,” ujarnya.
“Maksudnya apa? Desain skenario dan strategi apa yang ingin dicapai? Rakyat berhak tahu dan diberi tahu. Jadi, pandangan Pak SBY hendak mewakili kegelisahan rakyat Indonesia. Bukan semata-mata untuk kepentingan Partai Demokrat,” lanjut dia.
Senada dengan Syahrial, Deputi Bappilu Partai Demokrat, Kamhar Lakumani, juga menyanggah argumen Hasto. Menurutnya, pernyataan Hasto soal Partai Demokrat mengganti sistem pemilu di 2008 demi perolehan suara adalah keliru dan menyesatkan.
“Pernyataan itu tak hanya keliru namun juga menyesatkan. Kenaikan elektoral pada masa itu jelas dikarenakan rakyat masih sangat menghendaki Pak SBY melanjutkan kepemimpinannya untuk periode kedua. Persentase perolehan suara Pak SBY jauh di atas Partai Demokrat artinya capaian Partai Demokrat pada masa itu terkerek naik sebagai insentif politik dari rakyat yang mengetahui bahwa Partai Demokrat adalah partainya Pak SBY yang akan menjadi kendaraan politik Pak SBY untuk maju lagi,” jelasnya.
Kamhar lantas menjelaskan alasan Demokrat saat itu mengganti sistem pemilu di 2018. Dia menyebut Demokrat saat itu merasa sistem proporsional terbuka lah yang paling demokratis.
“Jika kemudian Partai Demokrat tetap bersikukuh mempertahankan sistem pemilu proporsional terbuka karena inilah sistem yang paling demokratis dimana kedaulatan ada di tangan rakyat. Rakyatlah yang berdaulat menentukan wakilnya di Parlemen,” ujar dia.
“Bung Hasto harus lebih banyak belajar tentang demokrasi. Intisari demokrasi adalah kedaulatan rakyat, parpol salah satu pilar demokrasi menjadi alat untuk melayani kedaulatan rakyat. Bukan sebaliknya, kedaulatan rakyat dikebiri untuk kepentingan partai politik. Apalagi dibumbui seolah-olah sistem pemilu proporsional terbuka menjadi pintu masuk oligarki,” pungkasnya.
Editor: Ivo Yasmiati
(RuPol)