RUANGPOLITIK.COM — Setiap kali pelaksanaan pemungutan suara dilakukan dalam ajang Pemilu yang berlangsung per lima tahun ini, konflik rebutan suara kerap terjadi. Bahkan tak jarang praktek jual beli suara menjadi sebuah perilaku politik yang tak bisa dihindarkan demi mencapai kemenangan.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dinilai lemah dalam melakukan pengawasan baik itu di lapangan atau juga membuktikan terjadinya transaksi jual beli suara ini. Apalagi menjatuhkan sanksi hukum karena harus melalui banyak tahapan.
Melihat fenomena laten ini, pengamat politik Efriza dari Citra Institute saat dihubungi RuPol, Minggu (19/2/2023) mengatakan sulitnya mengatasi problematika ini lebih kepada sistem berjenjang dalam penghitungan suara.
“Politik penggelembungan suara, kemungkinan terjadi juga disebabkan sistem kita yang berjenjang dalam proses perhitungan suaranya. Sistem berjenjang ini yang merepotkan dalam pendeteksian, butuh waktu lama dalam proses menyingkapnya,” jelas Efriza.
Apalagi terjadinya kecurangan dalam rekapitulasi suara ini memang karena sudah terstruktur sehingga sulit dilibatkan terutama orang-orang yang terindikasi bermain dalam praktek ini. Penggelembungan suara jika tak TSM (Terstruktur, Sistematis, dan Massif) akan sulit dibuktikan, sebab acap aktor yang terlibat juga tak dimungkiri mereka sebagai penyelenggara.
“Bawaslu juga acap lemah karena dilapangan tidak semua personilnya menguasai mekanisme penyelenggaraan pemilu, kita juga harus memahami acap terjadi pengawas dapat bersepakat karena dasar toleransi budaya ketimuran kita,” ucap dosen ini.
Hal lain yang dikritik Efriza adalah kombinasi sistem multipartai – proporsi – dan jumlah kursi yang juga tinggi. Belum ditambah proses pemungutan suara kita bersifat pemilihan untuk lima surat suara secara serentak, sehingga durasinya berlarut-larut, pengawasannya longgar. Ini adalah pilihan yang diselenggarakan tapi cukup merepotkan dari sisi pengawasan.
“Dan kenapa sulit sekali transaksi ini dideteksi dan di anulir. Jika soal ini bisa banyak hal penyebabnya, bisa karena lemahnya pengawasan, bisa pula mereka tak bisa mengumpulkan bukti yang valid, bisa pula memang karena personilnya yang ditingkat adhoc kurang memahami proses pemilu dan aturan-aturannya,” terangnya.
Sisi lain dilapangan misal ditingkat TPS, dalam prosesnya tidak bisa disamakan dengan ketika simulasi, sehingga hal-hal kelemahan dilapangan acap tak terdeteksi sebelumnya. Juga yang semakin memberatkan adalah jika kecurangannya hanya bersifat kecil semata, tidak TSM, terkadang hal ini tidak dapat diprediksi sebelumnya oleh pembelajaran tingkat pengawasan.
‘Jadi memang dilapangan amat rumit, apalagi jika proses pengawasan hanya bersifat pilah-pilih, tetapi juga personilnya yang misalnya di tingkat ad hoc amat minim pengetahuan dan juga keberaniannya,” ucapnya.
Bahkan ini yang umum kadang pelaporan yang berlarut-larut, yang kurang disosialisasikan, acap akhirnya keadilan pemilu tidak semuanya dapat dikatakan akan bersifat adil. Adil dapat saja menjadi sebuah persepsi semata, bukan sebuah mekanisme penegakan menyeluruh. (IY)
Editor: Ivo Yasmiati
(RuPol)