RUANGPOLITIK.COM– Jadwal Pilpres 2024 sudah semakin dekat, namun hingga kini peta masih buram. Hal itu terlihat dari mitra koalisi yang semakin kabur, capres yang belum jelas, deklarasi yang hanya wacana, hingga polemik di tubuh KPU yang tersangkut ‘isu intervensi’ parpol, curang, pro kontra sistem pemilu yang masih digugat sejumlah pihak di Mahkamah Konstitusi terkait Sistem Proporsional Terbuka yang dianggap tak lagi relevan. Hingga isu skandal dengan ‘wanita emas’ yang kemudian gugatan tersebut di cabut.
Polemik ini juga masih belum selesai menyusul hasil pertemuan Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih yang menemukan bukti-bukti kecurangan KPU meloloskan partai Gelora yang disinyalir titipan istana.
Bukti tersebut berupa pesan chat Ketua KPU RI Hasyim Asyari yang meminta bantuan untuk membuat Partai Gelora memenuhi syarat (MS) yang disampaikan saat bertemu Komisi II DPR. Sehingga integritas KPU mulai diragukan publik.
Menanggapi fenomena ini pengamat politik Dedi Kurnia Syah yang menjabat sebagai Direktur Indonesia Political Opinion (IPO) saat dihubungi RuPol, Selasa (17/1/2023) menganalisa ada dua alasan yang menjadi penyebab utama yakni elektabilitas kandidat yang rendah dan isu peniadaan Pemilu 2024 mendatang.
“Ada dua kemungkinan, pertama; belum adanya tokoh yang bisa dipastikan diusung karena rendahnya elektabilitas, juga situasi koalisi yang belum pasti. Hanya Gerindra yang bisa dipastikan akan usung Prabowo, sementara yang lain masih dalam tahap pencarian,” jelas Dedi.
Ia menilai ini sangat berpengaruh terhadap lemahnya daya saing parpol untuk segera umumkan capres. Dan yang tak kalah pentingnya adalah rumor isu penundaan pemilu yang sempat mengemuka jelang akhir tahun 2022 lalu. Menyusul animo tinggi publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-Ma’aruf hingga keterbatasan gerak pemerintah saat menghadapi badai Covid-19 dua tahun belakangan ini.
“Kedua, bukan tidak mungkin lambatnya aktifitas karena kuatnya agenda peniadaan Pemilu 2024. Asumsi ini bisa saja benar mengingat PDIP sekalipun yang punya akses mengusung tanpa koalisi juga terlihat pelan. Bisa jadi, Pemilu 2024 tidak ada,” urai Dedi.
Mengingat deal politik di mitra koalisi yang masih belum capai kata sepakat, tak bisa dipungkiri bisa saja bubar atau malah terbentuknya poros baru. Dedi menjelaskan hal ini bisa dilihat dari situasi PKB-Gerindra yang masih menggantung, dan kekuatan di KIB yang mungkin akan diperkuat dengan masuknya PDIP.
“Saat ini poros baru masih mungkin terjadi, semisal muncul perubahan koalisi, PKB bergeser ke Nasdem lalu usung Anies-Muhaimin, meskipun jauh lebih tepat bagi mereka tetap berada di Gerindra. Lalu upaya lain muncul dengan koalisi PDIP-Golkar dan didukung PPP, ini juga mungkin saja terjadi,” jelasnya.
Sementara itu, menilik langkah Anies Baswedan sebagai capres dari Koalisi Perubahan, dinilai Dedi tak mudah. Karena rivalitas Jokowi yang tak suka Anies menjadi batu sandungan bagi Anies untuk tetap masuk dalam bursa. Meski secara elektabilitas Anies sangat tinggi dan mendapat tempat di hati rakyat.
Dan sisi lain lemahnya Anies karena bukan kader parpol, dan semakin melemahnya dukungan NasDem ke Anies yang sempat dilontarkan Ketum NasDem Surya Paloh bahwa NasDem tak masalah jika Anies gagal nyapres terutama jika koalisi parpol gagal terbentuk. Menurut Surya Paloh, Nasdem tidak terbebani dengan pencapresan Anies Baswedan.
“Ya apa boleh buat, enggak ada masalah. Kita enggak ada beban yang tinggi sekali. Enggak ada beban,” ujar Surya Paloh di Nasdem Tower, Gondangdia, Jakarta Pusat, Sabtu (22/10/2022).
“Jangan dipikir ini hidup matinya (Nasdem). Tapi, hak-hak konstitusional jangan dikurangi satu sama lain kan itu yang kita mau,” katanya lagi.
Sehingga Dedi menilai langkah Anies Baswedan semakin terjal untuk bisa masuk dalam arena bursa Pilpres 2024 karena dianggap anti tesis Jokowi.
“Anies sejak awal sudah cukup berat, bukan soal koalisi perubahan. Tetapi karena faktor rival yang khawatir berlebihan, bahkan Jokowi sekalipun tidak jarang menunjukkan ketidaksukaan pada Anies, situasi ini yang membuat Anies dan koalisi kesulitan,” pungkasnya. (IY)
Editor: Ivo Yasmiati
(RuPol)