RUANGPOLITIK.COM— Wacana soal pemilu sistem proporsional tertutup, yang telah diterapkan Indonesia sejak 2009, mengemuka setelah Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy’ari mengungkap bahwa para politikus sebaiknya tidak mengaku diri sebagai caleg.
Selain karena masa kampanye belum dimulai, judicial review atas sistem pemilu yang tengah bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK) juga menjadi alasan.
Menurut Hasyim, seandainya MK mengabulkan sistem pemilu proporsional tertutup, maka upaya para caleg itu sia-sia.
Menurut Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, Aditya Perdana, menilai bahwa sistem pemilu proporsional terbuka masih yang terbaik untuk demokrasi Indonesia, setidaknya sampai saat ini.
Dengan sistem ini, pemilih dapat memilih sosok calon legislatif yang kelak akan mewakilinya di parlemen. Sementara itu, dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya dapat memilih partai politik yang selanjutnya bakal menentukan sepihak siapa kadernya yang berhak duduk di parlemen.
“Idealnya, sistem pemilu kita makin mendekatkan kepada pemilih, bukan malah semakin menjauhkan pemilih,” ujar Aditya, Senin (2/1/2023).
Ia mengakui bahwa sistem ini memang tak lepas dari masalah. Terdapat masalah biaya politik yang tinggi di lapangan, misalnya, yang tak sedikit bermuara pada politik uang.
Selain itu, sistem ini juga mengandalkan popularitas sosok calon legislatif sebagai sarana kampanye, ketimbang gagasan-gagasan partai politik.
“Namun sistem yang terbuka ini mendorong pemilih lebih mudah mengenali dan mencari tahu latar belakang caleg di dapilnya,” ujar Adit.
“Caleg pun akan berusaha secara konsisten memelihara dan merawat pemilihnya dengan berbagai kegiatan yang sudah dilakukan sebelumnya,” kata Adit.
Terlebih, saat ini tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan. Perubahan sistem pemilu dianggap tidak perlu dilakukan saat ini.
“Saya berpandangan bahwa agenda untuk mendorong pergantian sistem pemilu sebaiknya dapat ditunda atau ditahan hingga seluruh tahapan Pemilu 2024 dapat sepenuhnya dijalankan dengan baik,” ungkap Direktur Eksekutif Algoritma itu.
“Revisi UU Pemilu dan Pilkada dapat dibicarakan secara serius di tahun berikutnya 2025 dan seterusnya. Penyelenggara dan Pengawas Pemilu kemudian dapat fokus menyelenggarakan dan mengawasi tahapan pemilu dengan baik,” pungkasnya.
Editor: Ivo Yasmiati
(RuPol)