RUANGPOLITIK.COM— Mantan Presiden Myanmar Aung San Suu Kyi bak menjalani karmanya setelah membiarkan tentaranya melakukan Genosida terhadap etnis Rohingya. Pembersihan etnis di Myanmar telah terjadi puluhan tahun silam, sejak 1978 silam.
Namun aksi pembersihan etnis itu terus berlangsung sejak kepemimpinan Aung San Suu Kyi dan hingga saat ini.
Di Mahkamah Internasional (ICJ) pada akhir tahun 2019 lalu, sebelum Aung San Suu Kyi dikudeta oleh militernya, Aung menutupi kekejian militer dan terkesan menutup mata.
Kini, Aung San Suu Kyi mendapat nasib serupa. Ia dikudeta dan ditangkap oleh militernya sendiri.
Pengadilan Myanmar di bawah pemerintahan junta militer Myanmar menjatuhkan vonis 7 tahun penjara terhadap pemimpin sipil yang digulingkan Aung San Suu Kyi pada Jumat (30/12/2022).
Pada sidang terbaru, Aung San Suu Kyi dinyatakan bersalah atas lima tuduhan korupsi terkait dengan perekrutan, pembelian, dan pemeliharaan sebuah helikopter yang telah menyebabkan kerugian negara.
“Semua kasusnya sudah selesai dan tidak ada lagi dakwaan terhadapnya,” kata sumber yang meminta namanya dirahasiakan, sebagaimana dikutip dari Kantor berita AFP.
Dengan vonis terbaru, Aung San Suu Kyi berarti kini harus menjalani hukuman penjara 33 tahun. Sejak dikudeta pada 2021, perempuan 77 tahun itu diketahui telah dihukum atas sejumlah dakwaan mulai dari korupsi, kepemilikan walkie-talkie secara illegal, hingga melanggar pembatasan Covid-19.
AFP melaporkan, awak media dilarang menghadiri sidang pengadilan dan pengacara Suu Kyi dilarang berbicara kepada media.
Sumber itu membeberkan, Aung San Suu Kyi berencana mengajukan banding atas putusan terbaru terhadapnya. Sejak persidangannya dimulai, dia hanya terlihat sekali dan bergantung pada pengacara untuk menyampaikan pesan ke dunia.
Sementara itu, pada pekan lalu Dewan Keamanan PBB telah meminta junta militer Myanmar untuk membebaskan Suu Kyi dalam resolusi pertamanya mengenai situasi di Myanmar sejak kudeta.
Itu adalah momen persatuan relatif oleh dewan setelah anggota tetap dan sekutu dekat junta China dan Rusia abstain, memilih untuk tidak menggunakan veto setelah amandemen kata-kata.
Editor: Ivo Yasmiati
(RuPol)