RUANGPOLITIK.COM — Ketertarikan masyarakat kepada politik dianggap masih cukup rendah. Apalagi tingkat ‘popularitas’ ketua umum partai lebih melekat di publik, daripada program kerja parpol itu sendiri.
Temuan ini disampaikan oleh ilmuwan politik, Prof. Saiful Mujani, melalui kanal YouTube SMRC TV, Kamis (24/11).
“Yang ada di pikiran pemilih bukan pesan, ide, platform, atau ideologi partai,” kata Saiful.
Saiful menjelaskan bahwa ketika ditanya apa yang ada di pikiran ketika disebut nama PDIP? Ada 19 persen pemilih yang menyebut Megawati, 14,3 persen menyebut gambar banteng, 4,6 persen menyebut Joko Widodo, dan warna merah 2,8 persen. Hal-hal lain di bawah 2 persen.
Saiful menjelaskan bahwa untuk kasus PDIP, yang melekat di hati pemilih adalah sesuatu yang memiliki makna yang kabur seperti simbol dan nama orang, bukan ide. Padahal padahal elite PDIP sering bicara tentang wong cilik yang memperjuangkan aspirasi rakyat kecil, namun hal itu kurang terekam di benak pemilih.
Hal yang sama terjadi pada Gerindra. Yang paling banyak diingat oleh mereka yang tahu Gerindra adalah nama Prabowo Subianto 25,6 persen, gambar burung 8,3 persen, dan hal-hal lain di bawah 2 persen. Hal ini sama dengan PDIP bahwa yang melekat di pikiran pemilih adalah nama ketua partai dan simbolnya.
Umumnya pemilih Indonesia hanya mengingat nama atau pemimpin dan simbol partai politik, bukan ide atau platform mereka. Demikian dikatakan melalui program ‘Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ bertajuk “Apa yang Pemilih Tahu tentang Partai Politik?” pada Kamis, 24 November 2022.
Sementara yang paling banyak terlintas di pikiran pemilih ketika mendengar nama Golkar adalah gambar pohon beringin 11,8 persen, warna kuning 10,2 persen, Soeharto 5,1 persen, dan Airlangga Hartarto 2,3 persen. Hal-hal lain di banyak 2 persen.
Sedikit berbeda dengan PDIP dan Gerindra di mana yang paling populer diingat oleh pemilih adalah nama tokoh, yang paling banyak terlintas dalam pikiran pemilih pada Golkar adalah simbol (pohon beringin dan warna kuning).
Menurut Saiful, sebagian hal ini merupakan cerminan dari literasi pemilih yang rendah. Hal ini juga terkait supply informasi yang diberikan pada para pemilih oleh partai politik. Melihat fakta rendahnya pengetahuan publik tentang ide dan gagasan, Saiful bertanya “Apa yang selama ini dilakukan oleh partai politik?”
Menurut Saiful, yang ideal adalah, ketika disebut nama PDIP, maka yang terlintas misalnya adalah tentang politik pro kerakyatan, Golkar misalnya tentang pembangunan, dan Gerindra misalnya tentang nasionalisme atau Indonesia first.
“Terlepas dari setuju atau tidak, minimal ada ide yang melekat pada pemilih kita. Tapi dalam kasus-kasus ini, kita tidak menemukannya,” tegasnya.
Secara umum, studi ini menemukan bahwa jika disebut nama PKB, maka yang terlintas paling banyak di pikiran pemilih adalah nama Abdurrahman Wahid, Gerindra Prabowo Subianto, PDIP Megawati Soekarno Putri, Golkar gambar pohon beringin, Nasdem Surya Paloh, PKS berbasis agama, PPP gambar ka’bah, PAN Amien Rais, dan Demokrat Susilo Bambang-Yudhoyono.
“Tentu saja semua partai politik memiliki AD/ART, tapi masyarakat tidak kenal itu semua,” terang Saiful.
Menurut Saiful ini adalah bukti bahwa Indonesia gagal membangun sistem kepartaian selama 20 tahun lebih reformasi.
Karena keadaannya begini, maka, menurut Saiful, wajar jika banyak publik yang apatis terhadap partai, ada atau tidaknya partai politik dianggap tidak penting. Ini bahkan bisa menggerus kepercayaan publik pada Pemilu.
Editor: Ivo Yasmiati