RUANGPOLITIK.COM — Isu bandar yang sempat menggoyang Koalisi Perubahan dianggap sebagai fenomena biasa dalam politik. Hal ini mengingat ‘cost politik’ yang dibutuhkan partai untuk melakukan persiapan mensukseskan pemilihan melalui konsolidasi membutuhkan biaya yang besar.
Sehingga fenomena ‘bandar dan parpol’ tak bisa pisahkan. Peran bandar yang lazimnya berasal dari pengusaha ini menjadi pemodal utama bagi parpol untuk melakukan deal politik.
Menurut Pengamat Politik Hendri Satrio dari KedaKOPI, ia mengkritik partai politk yang menggadaikan ideologi dan hanya memburu suara rakyat agar dilirik bandar.
Dia menilai partai politik yang melakukan hal itu tidak akan memiliki peran yang besar bagi bangsa, negara dan demokrasi.
“Kalau sudah begitu, maka dia membuka peluang untuk ada kekuatan-kekuatan di luar partai politik yang berusaha masuk ke partai itu,” kata Hendri dalam diskusi Ngobrol dari Sebrang Istana yang bertajuk,” Partai Politik Bisa Dibeli? Gosip atau Fakta” di Juanda, Jakarta Pusat, Minggu (20/11)
Dia mencontohkan fenomena masuknya pengusaha-pengusaha ke dalam partai politik dan langsung mendapatkan jabatan strategis di internal partai. Pengusaha ini yang kerap disebut sebagai ‘bandar’ merupakan penyokong dana yang paling menentukan siapa orang-orang yang akan dipilih menjadi pion untuk mengamankan ‘bisnis’ atau investasi.
“Bayangkan kalau ada kelompok besar yang powerful sekali memiliki kekuatan ekonomi luar biasa. Kemudian, dia bargain dengan partai politik, dia akan membiayai partai politik tadi,” ujar pendiri lembaga survei KedaiKopi itu.
Pria yang akrab disapa Hensat itu juga menyebutkan pihak dengan kekuatan besar yang masuk ke partai politik berpotensi meminta agar orang kepercayaannya mengisi jabatan strategis seperti anggota dewan, bahkan presiden dan wakil presiden.
“Ini adalah hal yang paling membahayakan karena menurunkan derajatnya sebagai partai politik yang memiliki ideologi berubah menjadi organisasi massa peserta pemilu,” lanjutnya.
Hensat juga menyebutkan partai politik seperti itu hanya mementingkan posisinya di parlemen dan kabinet pemerintahan tanpa mengedepankan ideologinya untuk rakyat.
Pengamat politik, Hendri Satrio (dua dari kanan) menilai hal ini bisa berbahaya untuk demokrasi jika dilakukan oleh partai politik.
“Nah, seperti itu menurut saya bukan saja membahayakan demokrasi Indonesia, tetapi juga untuk keberadaan Indonesia,” pungkasnya.
Editor: Ivo Yasmiati