RUANGPOLITIK.COM — Kemerdekaan pers akan kembali tergerus dalam beberapa pasal yang tertuang di RKHUP. Kritikan ini disampaikan oleh Profesor Bagir Manan, mantan Ketua Dewan Pers dua periode ini. Ia prihatin dengan beberapa pasal yang sangat bias terhadap pers.
Hal ini diungkapkan Bagir Manan saat meluncurkan buku Problematika Pers dan Kualitas Demokrasi: dari Konstitusi, UU ITE sampai RUU KUHP, di Kantor Dewan Pers Jakarta, Senin (14/11/2022)
“Ini aneh karena dalam negara demokrasi, kebebasan pers harusnya dijunjung tinggi tetapi tetap bertanggung jawab. Kebebasan pers sangat diperlukan sebagai panduan demokrasi di negara hukum,” kata Bagir Manan.
RUU KUHP dketahui dipersoalkan berbagai lembaga dan komunitas pers. Beberapa ketentuan yang dipermasalahkan di antaranya terkait pencemaran nama baik, kelengkapan berita, serta penghinaan terhadap kepala negara dan perangkat pemerintah.
“Soal kebebasan pers, setelah coba teliti, saya cukup terkejut kok banyak betul Rancangan KUHP ini yang dibuat dalam negara merdeka ini yang justru bisa menjerat pers,” urai mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) ini.
Menurutnya, pers bebas harus tetap menjadi panduan demokrasi dan negara hukum. Prinsip kebebasan pers itu tetap dijunjung tinggi tanpa mengurangi tanggung jawab pers.
Ia menegaskan, kebebasan pers dibutuhkan untuk mewujudkan kehidupan intelektual di tengah masyarakat. Menurutnya, hal ini akan menentukan masa depan bangsa. Dicontohan, kemajuan sejumlah negara di Eropa dan Amerika dipengaruhi peran kaum intelektualnya.
Apalagi, saat ini kehidupan intelektual di Indonesia seolah mandek. Untuk itu, jurnalisme menjadi salah satu penggerak menghadirkan dialog intelektual tersebut.
“Maka dari itu, saya mohon Dewan Pers dan lembaga pers menghidupkan kegiatan intelektual. Pers tetap menjadi panduan kehidupan intelektual masyarakat,” urai Bagir Manan.
Ia menjelaskan, upaya mewujudkan kesadaran intelektual harus disertai dengan keberanian. Dicontohkan, tokoh pers nasional, Mochtar Lubis, yang dipenjara dan surat kabarnya diberedel saat Orde Lama dan Orde Baru.
“Beliau dipenjara tanpa diadili. Tanpa mengurangi bentuk keberanian lain, beginilah seharusnya pers. Mari hidupkan kehidupan intelektual dan keberanian menegakkan prinsip itu agar demokrasi dapat mewujudkan kesejahteraan,” tegasnya.
Editor: Ivo Yasmiati