RUANGPOLITIK.COM — Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Yenny Wahid terlihat datang saat peresmian Masjid Raya Sheikh Zayed di Solo, Senin (14/11). Duet pasangan ini, termasuk duet alternatif yang masuk dalam radar pilpres 2024 mendatang.
Menurut pengamat politik Efriza, saat dihubungi RuPol, Senin (14/11) peluang Ganjar-Yenny masih sangat tipis. Apalagi konflik di internal PDIP belum pasti mendukung Ganjar, begitu juga di kubu NU, suara akan terbelah dua ke Cak Imin. Karena ada dua kubu di NU, yakni pro Gus Dur dan pro Muhaimin.
“Perbedaan terbesar adalah di golongan elite NU saja, yang pro Gus Dur dan Muhaimin, tetapi tidak akan terjadi perang komunikasi terbuka, karena NU lebih mendasari kekeluargaan dan saling menghormati. Meski begitu, keduanya, Cak Imin dan Yenny Wahid juga diragukan maju sebagai cawapres dari kemungkinan poros koalisinya,” jelasnya.
Sementara, antara Cak Imin dan Yenny Wahid, tentunya secara kepartaian mengarah keputusan terhadap Muhaimin. Suara-suara loyalis Gus Dur tidak sepenuhnya akan mendukung Yenny Wahid disebabkan mereka mengkhawatirkan posisinya di kepartaian.
Tetapi suara masyarakat NU yang akan terpencar antara loyalis Gus Dur dan pendukung Muhaimin, hanya saja tidak akan terjadi perpecahan dan NU secara organisasi akan memilih netral, seperti keinginan Ketua Umum PBNU.
“Peluang Ganjar-Yenny tetap terbuka. Yenny representasi NU, hanya dari kubu Gus Dur, ia sebagai pemersatu loyalis Gus Dur,” ungkap dosen politik ini.
Pasangan Ganjar-Yenny Wahid persentasenya kecil. Pengusungnya PSI dan sudah diumumkan kepada Publik, tentunya PDIP tidak akan mau mengiyakan.
Sementara itu, Efriza menambahkan figur Yenny Wahid tidak begitu memiliki kekuatan politik. Terutama saat menghadapi konflik besar. Tentunya ini akan melemahkan bargainingnya sebagai elit yang didominasi maskulin.
“Seperti ia memilih mundur disaat Garuda Indonesia sedang bermasalah, meski alasannya masuk akal terkait efisiensi biaya lebih besar. Begitu juga saat sebagai Stafsus SBY pada 2007 lalu, khawatir konflik kepentingan dengan mengurusi partai. Satu sisi alasan mundurnya baik dan logis, tetapi sisi lain kemampuan dia memimpin masih minim,” jelasnya.
Karena itu, dalam membaca peluang yang ada PDI-Perjuangan masih membaca perkembangan situasi di myarakat, baik di tingkat elit, survei dan kans menang.
PDIP sedang berjuang merahasiakan calonnya, semua kadernya disuruh bekerja. Sisi lain, sudah memberikan sanksi kepada kader-kadernya yang “berisik” dan terkesan merecoki Mega selaku ketua umum.
“Ini menunjukkan PDIP sedang berusaha membuat suara internalnya solid dalam satu rampak barisan,” jelasnya.
Efriza menilai, akan ada kejutan lain dari peta pilpres ini yang masih dari dari kalangan NU. Sebab, saat ini NU daya pikatnya tinggi ada nama lain seperti Khofifah, Erick Thohir, Said Agil Siradj. Kemungkinan seperti 2019 terbuka, munculnya nama alternatif yang menyatukan NU.
Editor: Ivo Yasmiati