RUANGPOLITIK.COM — Batalnya rencana deklarasi Koalisi Perubahan yang terdiri dari NasDem, Demokrat dan PKS pada 10 November mendatang, disampaikan oleh Ketua DPP Partai NasDem, Willy Aditya.
“Bisa dipastikan 10 November 2022 tidak jadi deklarasi bersama,” ujarnya kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (7/10/2022).
Menanggapi hal ini, Efriza pengamat politik dan dosen ilmpu politik di perguruan tinggi saat dihubungi RuPol, Senin (7/11) mengatakan adanya tarik ulur kepentingan.
“Ini menunjukkan ketiga partai ini belum dapat menemukan kesepakatan meski ketiganya memilih Anies Baswedan sebagai capres. Tetapi ketiga partai ini masih tarik menarik kepentingan,” ungkapnya.
Efriza menilai PKS menginginkan kali ini bisa berbicara banyak di Pilpres dengan kadernya Aher dipilih sebagai cawapres. Sedangkan, partai Demokrat menginginkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang mendampingi Anies karena ia yang tertinggi elektabilitasnya.
Sementara Nasdem tentu saja mengharapkan kader non-parpol sebagai cawapres Anies, karena Nasdem akan sangat dirugikan mengusung Anies Baswedan tetapi yang menikmati keuntungan malah PKS dan Demokrat mengenai cawapres. Hanya Nasdem menyerahkan persoalan ini kepada Anies Baswedan semata.
“Memang ketiga partai ini tidak bisa hanya sekadar deklarasi Koalisi dan Mengusung Anies semata, sebab tak akan ada efek kejut, hanya meniru cara koalisi Gerindra-PKB semata,” jelas Efriza.
Sementara itu, saat ditanya adakah indikasi pecahnya kongsi tiga partai ini? Menyusul tidak tercapainya kesepakatan cawapres Anies. Efriza menilai peluang itu kecil.
“Potensi gagalnya Anies, persentasenya kecil. Kecuali jika KIB membuka kesempatan PKS bergabung dengan melepaskan peluang bersama PDIP. Maupun Gerindra-PKB menjadi pilihan alternatif bagi PKS, karena PKS tidak menunjukkan tertarik lagi mengusung Prabowo,” jelasnya.
Secara komunikasi politik, Efriza menilai komunikasi PKS dan upaya PKS mendekati KIB dan Poros Koalisi Gerindra-PKB hanya sekadar upaya melakukan tekanan kepada Nasdem agar menerima Aher.
“Sebab, Nasdem terjepit akan terjadi ‘putih muka’ (malu) jika tak dapat mengusung Anies Baswedan, namun suara Nasdem tidak mencukupi tanpa PKS dan Demokrat. Sedangkan, Demokrat memang tidak melakukan pergerakan kencang, cenderung pasif posisi Demokrat lebih kuat dengan elektabilitas AHY lebih tinggi dia dibanding Aher,” ungkap Efriza.
Karena itu, dari batalnya deklarasi pada 10 November mendatang, dianggap sebagai tanda jika deal dibelakang layar belum final.
“Sehingga wajar, PKS mencoba ‘genit’ kepada KIB dan Poros Gerindra, sebab PKS jangan sampai dianggap tidak memiliki posisi tawar,” pungkasnya. (IY)
Editor: Ivo Yasmiati