RUANGPOLITIK.COM — Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dianggap masih harus bekerja keras, jika ingin Ketua Umum Muhaimin Iskandar digandeng oleh Prabowo sebagai cawapres pada Pilpres 2024. Elektabilitas Muhaimin yang masih sangat rendah, menjadi alasan utama, selain alasan hubungan dengan PBNU dan kelompok Gusdurian yang belum juga membaik.
Hal tersebut disampaikan oleh pengamat politik dari Citra Institute Efriza, melalui keterangan tertulis kepada RuPol, Senin (17/10/2022).
Efriza menilai jika dalam peta politik Gerindra kecil peluang Cak Imin untuk bisa diusung oleh partai Gerindra-PKB.
“Sosok Muhaimin dinilai Prabowo atau Gerindra masih belum tepat. Sebab, elektabilitasnya rendah, komunikasi politik acap blunder, lalu dukungan NU juga tidak signifikan terhadap dirinya,” ujar Efriza.
Efriza menjelaskan, Gerindra memang harus melirik cawapres Prabowo dari kalangan NU, untuk mendapatkan suara yang maksimal dan lebih merata. Tapi kriteria calon yang diinginkan itu, belum terpenuhi oleh Muhaimin Iskandar.
Hal itu jugalah yang menyebabkan Gerindra sampai saat ini belum antusias untuk cepat-cepat mendeklarasikan koalisi keduanya.
“Kita bisa lihat di media-media, Gerindra tidak pernah menyebut soal cawapres. Berbeda dengan elit-elit PKB yang selalu mengapungkan nama Muhaimin sebagai cawapres. Ironis juga ya,” sambung Dosen Ilmu Politik di berbagai perguruan tinggi itu.
Karena ini berkemungkinan pilpres “terakhir” bagi Prabowo, tentunya Prabowo dan Gerindra ingin betul-betul berupaya untuk menang. Artinya, dalam proses ini Gerindra akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menentukan cawapres Prabowo.
Namun, Efriza tak menampik jika peluang Cak Imin masih ada, walau kecil untuk bisa menjadi Cawapres. Cak Imin dianggap menjadi cawapres alternatif, jika Gerindra tidak bisa menambah partai koalisi yang lain.
“Pasangan Prabowo-Muhaimin peluangnya terwujud di opsi terakhir, bisa di menit akhir. Karena terjebak situasi dan waktu. Misal, tidak memungkinkan menarik KIB, maupun berharap Nasdem-PKS-PD tidak terwujud koalisinya, ataupun juga dapat bersama dengan PDIP,” paparnya.
Jadi karena kebutuhan memenuhi presidential threshold di satu sisi, juga misalnya sulit tercapai kesepakatan untuk mengusung calon alternatif sebagai wapres, maupun karena ketiadaan cawapres alternatif, akhirnya pasangan Prabowo-Muhaimin terwujud,” ungkapnya.
Efriza menilai hingga saat ini kedua partai disinyalir sedang berusaha saling bernegosiasi, berusaha mencapai kesepakatan, agar memperoleh beberapa simulasi pasangan calon yang potensial menang dari paket koalisi Gerindra-PKB. (Ivo)