RUANGPOLITIK.COM — Salah satu obat pereda nyeri dan penurun demam pada anak yang lazim digunakan adalah parasetamol. Selama ini obat ini dianggap aman dan layak untuk dikonsumsi tanpa menimbulkan resiko yang berbahaya bagi kesehatan.
Namun temuan kasus puluhan anak yang mengalami gagal ginjal usai mengkonsumsi sirup paracetamol di Gambia, Afrika Barat turut mengkhawatirkan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Karena adanya indikasi kasus serupa yang terjadi di Indonesia yakni peningkatan ginjal akut misterius yang belum diketahui penyebabnya. Pasien terdata sebanyak 131 anak dan tersebar di 14 propinsi di Indonesia.
Sementara Kepala Biro Komunikasi Kemenkes RI dr Siti Nadia Tarmizi belum bisa berkomentar banyak lantaran pihaknya masih mendalami laporan 131 anak mengalami gangguan ginjal akut misterius.
“Kami masih cek dulu ya. Sementara keterangannya masih dari IDAI,” jawab dr Nadia kepada wartawan Rabu (12/10/2022).
Saat ditanya soal kemungkinan kaitan 131 anak mengalami gangguan ginjal akut misterius dengan konsumsi obat, dr Nadia juga belum bisa memastikan kaitan keduanya.
Ancaman serupa juga bisa terjadi di Indonesia, mengingat sebanyak 69 anak tewas usai mengkonsumsi sirup obat batuk produksi farmasi India. Namun BPOM RI sebelumnya menekankan produk obat tersebut tidak terdaftar di Indonesia, sehingga kemungkinan besar masyarakat aman dari risiko toxic yang diidentifikasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam empat obat batuk tersebut.
“BPOM melakukan pengawasan secara komprehensif pre market dan post market. Terhadap keempat produk yang diberitakan di Gambia, BPOM telah melakukan penelusuran data dan diketahui bahwa keempat produk tersebut tidak terdaftar di Indonesia,” jelas BPOM RI kepada wartawan.
Dampak Penggunaan Parasetamol
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Leeds Institute of Rheumatic and Musculoskeletal Medicine, Inggris, yang dipimpin oleh Philip Conaghan tersebut menganalisa data dari delapan studi tentang penggunaan parasetamol dalam jangka panjang yang telah dipublikasikan.
Dua dari delapan studi menemukan adanya peningkatan kematian hingga 63 persen pada yang mengonsumsi parasetamol dalam jangka panjang, dibandingkan yang tidak mendapat resep obat tersebut. Empat studi lainnya menemukan adanya risiko tinggi masalah kardiovaskular, yakni dengan rentang 19-68 persen.
Ada pula risiko perdarahan gastro-intestinal dan efek samping intestinal lainnya, dengan angka 49 persen. Sementara tiga studi lainnya menemukan adanya efek buruk pada ginjal.
Dalam kasus-kasus yang ditemukan, risiko yang didapat tergantung pada dosis. Jadi semakin tinggi dosis yang digunakan, maka semakin besar risikonya. Demikian analisis yang dipublikasikan dalam jurnal Annals of the Rheumatic Diseases, dan dikutip dari AFP.
Para analis lantas memperingatkan dokter agar lebih berhati-hati ketika meresepkan obat, tak terkecuali parasetamol. Meskipun memang risiko secara absolutnya bisa dikatakan kecil. Namun ahli lain tidak sepakat dengan temuan ini.
Menurut mereka, analisis yang dilakukan tidak bisa menjelaskan apakah masalah kematian dan problem kesehatan yang dialami seseorang itu memang karena penyakit yang mendasari atau karena dipicu oleh penggunaan parasetamol itu.
Nick Bateman, seorang profesor toksikologi klinis di University of Edinburgh di Skotlandia, menyebut sejauh ini parasetamol masih tetap analgesik paling aman yang tersedia. Akan tetapi yang disarankan adalah penggunaan parasetamol dengan dosis rendah dan digunakan dalam jangka pendek saja.
Sementara Seif Shaheen, seorang profesor epidemiologi pernapasan di Queen Mary University di London, berkomentar dengan berbagai keterbatasan, maka studi tersebut tidak bisa memperkuat bukti adanya efek berbahaya dari penggunaan parasetamol. Ia menghimbau agar dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari efek merugikan dari penggunaan obat ini.(Ivo)
Editor: Syafri Ario
(Rupol)