Peluang Sosok Internal vs Pragmatis Partai
Fenomena rendahnya elektabilitas ketua umum partai dalam banyak survei. Semestinya dapat menjadi pelajaran berharga untuk dikaji, dianalisis, dan mulai mempersiapkan sosok-sosok eksekutif daerah dari anggota-anggota internal partainya. Namun, sepertinya mereka tetap kekeuh, mereka merasa bahwa sebagai ketua umum partai maka diharuskan maju sebagai calon presiden.
Mereka berasumsi sebagai Ketua Umum Partai sekaligus calon presiden adalah untuk konsolidasi partai di tingkat internal dan juga merekatkan hubungan partai politik dengan masyarakatnya.
Sangat disayangkan, ketua-ketua umum partai itu tak menyadari bahwa masyarakat telah menempatkan mereka sebagai ketua umum partai adalah pekerja administrasi partai semata. Mereka memang perlu bercengkrama dengan masyarakat, mereka mendapatkan penerimaan oleh masyarakat dan konstituennya, tetapi bukan artinya didukung sebagai calon presiden, kesadaran inilah yang tidak hadir bukan sekadar benak pikir tetapi dihati mereka.

Penolakan masyarakat terhadap mereka semestinya mulai dijadikan langkah perubahan positif, wajah-wajah baru dari kader eksekutif daerah semestinya yang didorong. Ketua Umum tetap harus menyapa masyarakat, menyapa konstituennya, tetapi bukan tetap memaksakan dirinya sendiri, yang akhirnya bukan memperoleh respons positif malah menunjukkan lakon mempermalukan dirinya sendiri.
Akhirnya yang terjadi adalah mereka yang tidak memperoleh simpatik masyarakat tetapi memaksakan kehendak malah menghasilkan benih konflik internal. Seperti antara Muhaimin-PKB dengan PBNU sebagai konstituennya, hal yang sama juga terjadi di internal Golkar yang mulai jengkel atas tidak naiknya elektabilitas Airlangga Hartarto malah dikalahkan oleh Bupati Purwakarta Dedi Mulyani.
Puan Maharani yang juga tak didukung internalnya dengan berharap kepada Ganjar Pranowo tetapi mereka ‘silent’ karena cinta dan kepatuhan atas Megawati dan PDI Perjuangan.
Malah konflik internal sudah terjadi dengan Partai Demokrat yang tetap bersikukuh Ketua Umumnya yang pernah kalah di Pilkada Gubernur DKI Jakarta 2017 tetap sosok yang diajukan sebagai calon presiden untuk periode Pemilu Serentak 2024 mendatang meski dalam hasil Survei perolehan elektabilitasnya dikalahkan oleh Ridwan Kamil yang merupakan sosok perseorangan dengan jabatan Gubernur Jawa Barat.
Fenomena populernya tokoh Ketua Umum tetapi tidak diterima masyarakat dalam berbagai hasil survei terkait elektabilitas. Akhirnya, beberapa partai telah memberikan respons positif atas fenomena kepala daerah yang sukses di daerahnya maupun kepala daerah perseorangan untuk diperhitungkan sebagai calon presiden, seperti Nasdem, PAN, PPP, dan PKS.
Meski, tetap ada yang masih malu-malu dengan mencoba kukuh bertahan dengan persepsi lama bahwa Ketua Umum Partai adalah Calon Presiden Partainya sampai sesadarnya dia, seperti PKB, Golkar, PDI Perjuangan, Gerindra, dan Partai Demokrat, semestinya jika memang ketua umumnya tidak laku dijual, mulai membuka kesempatan kepada kader internalnya yang sukses sebagai kepala daerah maupun mengusung calon perseorangan dari eksekutif daerah yang dirasa memang layak karena didukung oleh masyarakat.
Memang demokrasi, memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memilih dan dipilih, tetapi dengan tetap memaksakan diri, maupun menggunakan kekuasaan dan kewenangan sebagai ketua umum sekaligus sebagai calon presiden, adalah perilaku buruk dalam melakukan manajemen kepartaian. Perilaku ini bukanlah merupakan bentuk terbaik dalam pengelolaan kepartaian, malah yang ada adalah persepsi negatif di masyarakat semakin kental bahwa partai politik memang tak pernah serius dalam menjalankan fungsi melakukan rekruitmen politik. (***)
Sunting: Bejo. S
(RuPol)