RUANGPOLITIK.COM – Di suatu sore di akhir Bulan Oktober 2021, sebuah mobil liputan bermerk stasiun televisi swasta memasuki komplek perumahan BSD, Tangerang, Propinsi Banten. Perlahan namun pasti, mobil yang membawa satu tim liputan lengkap itu menuju sebuah rumah yang terletak paling pojok.
Suasana asri dan sejuk terlihat dari bagian luar rumah tersebut, selaras dengan keramahan tuan rumah yang turun menyambut para tamu tersebut.
“Susah cari rumahnya?” sapa wanita berbalut hijab panjang, yang merupakan istri dari Dr. Tb. H. Ace Hasan Syazily, M.Si, orang yang hari ini akan melakukan sesi wawancara khusus dengan tim liputan televisi tersebut.
“Silahkan masuk, Kang Ace sudah menunggu,” lanjutnya sambil menawarkan minuman dan beberapa makanan ringan yang sepertinya sengaja sudah dipersiapkan.
Tidak lama kemudian, Ace Hasan Syadzily yang biasa dipanggil Kang Ace pun keluar, terlihat wajah segar penuh kehangatan terpancar dari laki-laki berusia 45 tahun tersebut, walau kegiatannya sangat padat, baik di DPR RI sebagai Wakil Ketua Komisi VIII, salah satu Ketua DPP di Partai Golkar dan juga sebagai dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
“Kita ngobrol di teras samping aja ya, lebih santai,” sambutnya.
“Saya belum pantas sebenarnya disebut tokoh Mas, karena belum apa-apa, masih perlu banyak belajar. Jadi kita cerita-cerita santai aja ya,” ujarnya dengan nada merendah, sangat tergambar sosok seorang yang tumbuh dan besar di lingkungan pesantren.
“Yang pasti cita-cita pertama tentu jadi ustadz, jadi kyai. Karena saya tumbuh di lingkungan pesantren. Ayah dan Ibu juga pengasuh pesantren, makanya saya itu bersekolah selalu di lingkungan pesantren. Belajar agama, fiqih, mengaji dan banyak lagi. Yang pasti selalu sarungan, Mas, itu masih terbawa sampai sekarang. Rasanya kalau tidur tidak pakai sarung, serasa ada yang kurang,” ceritanya sambil tertawa kecil, ketika ditanyakan soal cita-cita waktu kecil.

Awal ketertarikan kepada dunia politik, menurut Ace sejak dirinya berkuliah di UIN Syarif Hidayatullah, jurusan Bahasa dan Sastra Arab, dimana pada masa-masa itu terjadi perubahan politik yang besar di Indonesia, yaitu runtuhnya Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun.
“Saya pada masa itu terlibat aktif dalam berbagai gerakan mahasiswa dalam menuntut reformasi, diskusi-diskusi dan demo-demo. Sampai akhirnya saya terpilih jadi Presiden BEM di universitas,” tuturnya.
“Sejak saat itu juga, saya banyak membaca buku-buku tentang politik, pergerakan dan yang berbau-bau itu. Sekaligus saya juga bergaul dan menimba ilmu dengan para tokoh-tokoh politik, termasuk dengan Bapak Ginanjar Kartasasmita. Beliau itulah mentor dan guru politik saya,” sambung Ketua Dewan Pengurus Golkar Institute tersebut.